Ahad 25 Feb 2018 08:07 WIB

Rusia Tuding AS Berperan Tingkatkan Krisis di Ghouta Timur

DK PBB telah menyetujui resolusi gencatan senjata 30 hari di Ghouta Timur.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Andri Saubani
Petugas Pertahanan Sipil Suriah memadamkan api di sebuah toko yang terbakar karena serangan udara pasukan Suriah dan gerilyawan di Ghouta, pinggiran Damaskus, Selasa (20/2).
Foto: Syrian Civil Defense White Helmets via AP
Petugas Pertahanan Sipil Suriah memadamkan api di sebuah toko yang terbakar karena serangan udara pasukan Suriah dan gerilyawan di Ghouta, pinggiran Damaskus, Selasa (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia menekankan agar pembahasan untuk resolusi gencatan senjata di Ghouta Timur melibatkan pihak-pihak terkait pertempuran, Sabtu (24/2). Setelah negosiasi alot, Dewan Keamanan PBB secara anonim segera mengadopsi resolusi untuk gencatan senjata kemanusiaan selama 30 hari.

"Akan menjadi naif jika masalah internal Suriah diselesaikan oleh sebuah resolusi (dari pihak luar)," kata Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia dilansir Russian Today. Ia menambahkan Moskow sepakat dengan tujuan resolusi itu.

Namun, menurut Rusia, tidak boleh ada gencatan senjata tanpa kesepakatan dari pihak yang berseteru. Nebenzia mengkritik apa yang menurutnya sedang dilakukan oleh koalisi AS adalah ambisi okupasi.

Ia mengatakan, AS memberi dukungan pada milisi oposisi Suriah sehingga krisis kemanusiaan kembali terjadi di sana. Ia juga menuduh Barat telah melakukan kampanye propaganda melawan pasukan pemerintah di Ghouta Timur.

Sehingga pertempuran kembali intensif dalam beberapa pekan terakhir. Nebenzia menyebut dunia seharusnya adil dalam melihat kondisi di lapangan. Bahwa krisis kemanusiaan juga terjadi di wilayah lain di seluruh Suriah.

Nebenzia menegaskan, pasukan Suriah tidak akan berhenti menargetkan kelompok teroris seperti ISIS, Al Nusra dan organisasi teror lainnya. Baik Moskow maupun Damaskus mengatakan bahwa Ghouta Timur adalah gudangnya sejumlah kelompok teror.

Saat ini, wilayah pelosok di Damaskus itu dalam kepungan pasukan pemerintah Suriah. Menurut PBB, hampir 400 ribu penduduk masih berada di Ghouta Timur. Wilayah ini dikendalikan oleh dua faksi Salafi, Jaysh al-Islam dan Ahrar al-Sham juga Faylaq al-Rahman, dan kelompok Free Syrian Army.

Distrik ini terdiri dari permukiman pedesaan dan didesain sebagai zona deskalasi oleh Rusia, Turki dan Iran. Penduduk sipil telah diminta meninggalkan wilayah itu secara sukarela sejak tahun lalu dan bantuan kemanusiaan diizinkan masuk.

Namun menurut RT, kelompok milisi menolak menurunkan senjata. Mereka juga menghalangi penduduk yang ingin keluar wilayah. Pertempuran pun kembali viral menjadi konfrontasi terbuka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement