REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah bentuk penentangan terhadap dua prinsip hukum internasional. Hal ini disampaikan oleh ahli hukum senior sekaligus pendiri firma hukum Kassim Law Firm di Amman, Anis Kassim.
"Keputusan AS bertentangan dengan prinsip hukum, yaitu dengan mengkriminalisasi pengambilalihan wilayah negara lain secara paksa. Resolusi PBB 242 dirancang berdasarkan prinsip ini dan merupakan panduan untuk solusi politik dari semua konflik di wilayah ini," ujar Kassim, dikutip Gulf Times.
"Prinsip hukum kedua adalah pengakuan atas undang-undang suatu negara harus bergantung pada undang-undang yang konsisten dengan hukum internasional. Oleh karena itu, pernyataan presiden AS bahwa Israel, sebagai negara berdaulat, memiliki hak untuk memutuskan di mana ibu kotanya berada, tidak akurat," kata Kassim.
Kassim berbicara dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Kebijakan Arab dengan topik 'Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem: Signifikansi Hukum dan Politik'. Sesi pembukaannya dihadiri oleh Salam Karmi Ayyoub, pengacara pidana dan konsultan hukum yang berbasis di Inggris, dan Ala Mahajna, seorang pengacara dan ahli hukum yang bermarkas di Yerusalem.
Forum yang diadakan dalam satu hari ini membahas kepentingan politik dan status hukum Kota Yerusalem yang diduduki dan keputusan-keputusan Gedung Putih. Selain mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, AS juga berkomitmen untuk memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel yang saat ini berada di Tel Aviv ke Yerusalem.
Peserta mengeksplorasi perubahan pada basis demografi dan lanskap perkotaan Yerusalem serta dampak politik regional dan global di kota tersebut. Kassim mengatakan, pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak akan memberikan definisi yang tepat mengenai perbatasan Yerusalem.
"Israel telah memperluas batas-batas Kota Yerusalem, secara signifikan menambah wilayahnya di Tepi Barat yang diduduki sejak 1967. Lebih jauh lagi, sikap Gedung Putih saat ini melanggar sebuah pernyataan Amerika sejak 1964," kata dia.
Salam Karmi Ayyoub, pengacara pidana dan konsultan hukum yang berbasis di Inggris, mengatakan kebijakan Israel ditujukan untuk mengubah karakter demografis Yerusalem. Hal ini dia gambarkan sebagai sebuah kebijakan yang menunjukkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dapat digambarkan sebagai apartheid.
Ala Mahajna, seorang pengacara dan ahli hukum yang bermarkas di Yerusalem, juga memberikan presentasi rinci tentang bagaimana Israel menggunakan mekanisme hukumnya untuk mempertahankan kontrol dan menegakkan perubahan demografis serta geografis di Yerusalem.