Rabu 28 Feb 2018 17:04 WIB

Gencatan Senjata Kedua Mulai Diberlakukan di Ghouta Timur

Gencata pada hari pertama dinilai gagal karena tak mampu menghentikan pengeboman.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Dua orang anak memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Desa Shifunieh, Ghouta Timur, Suriah, Ahad (25/2).
Foto: Mohammed Badra/EPA-EFE
Dua orang anak memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Desa Shifunieh, Ghouta Timur, Suriah, Ahad (25/2).

REPUBLIKA.CO.ID, GHOUTA -- Gencatan senjata kedua yang diserukan Rusia mulai diberlakukan di Ghouta timur, Suriah, pada Rabu (28/2). Sebelumnya, gencatan senjata pertama Rusia dinilai telah gagal menghentikan serangan di daerah tersebut.

Gencatan senjata akan dilakukan selama lima jam untuk mengevakuasi orang-orang yang terluka dari pinggiran Kota Damaskus.  Jeda ini juga dimaksudkan untuk mengizinkan konvoi kemanusiaan untuk mengirimkan makanan dan obat-obatan ke daerah yang terkepung.

Seruan gencatan senjata dari Presiden Rusia Vladimir Putin dari pukul 09.00 sampai pukul 14.00 pada Selasa (27/2), telah terbukti sia-sia.  Saat itu pengeboman udara dan penembakan artileri masih dilakukan yang menyebabkan empat orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

 

Baca juga,  Suriah Kirim Pasukan Besar ke Ghouta Timur.

 

Ghouta Timur telah menerima gempuran udara secara terus-menerus sejak 18 Februari. Pesawat tempur Suriah yang didukung Rusia meningkatkan operasi militer mereka melawan militan oposisi di daerah tersebut.

Sejak saat itu, pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad memberlakukan pengepungan di Ghouta timur yang telah menciptakan krisis kemanusiaan terburuk dalam beberapa tahun terakhir.

 

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia mengatakan sejak dimulainya serangan, lebih dari 550 warga sipil telah kehilangan nyawa. Usaha-usaha Putin untuk melakukan gencatan senjata terjadi setelah resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan gencatan senjata selama 30 hari di Suriah, gagal dilakukan.

 

Gencatan senjata Rusia seharusnya membentuk koridor yang aman untuk memfasilitasi proses evakuasi, tetapi para aktivis mengatakan tidak ada upaya untuk melakukannya.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, koridor kemanusiaan telah ditetapkan dan Rusia telah memastikan bantuan akan diberikan. Namun warga mengatakan mereka tidak dapat mempercayai negara yang telah membantu pemerintah untuk mengebom mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement