REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pemerintah Israel telah bertekad mempercepat proses aneksasi daerah-daerah yang diduduki, terutama Tepi Barat. Israel mengklaim, dalam beberapa tahun mendatang, dukungan terhadap proses aneksasi ini akan meningkat.
Menteri Kehakiman Israel Ayelet Shaked mengatakan, memang telah tiba waktunya menerapkan hukum Israel di daerah yang diduduki, terutama di Area C Tepi Barat. Di area ini terdapat 500 ribu penduduk Israel dan hanya 100 ribu warga Palestina.
"Saya pikir kita harus menerapkan hukum Israel di wilayah itu dan memberikan kewarganegaraan Israel penuh, dengan semua haknya kepada warga Palestina di sana," kata Shaked, dikutip laman Middle East Monitor, Rabu (28/2).
Berdasarkan Kesepakatan Oslo, wilayah Palestina yang diduduki dibagi menjadi tiga bagian, yakni Area A, B, dan C. Area A merupakan wilayah yang sepenuhnya di bawah wewenang Palestina. Area B merupakan wilayah bersama di mana Palestina diberi hak menjalankan pemerintahan dan Israel yang mengatur keamanan. Lalu Area C adalah wilayah yang sepenuhnya dikontrol Israel. Sebanyak 60 persen wilayah Area C adalah Tepi Barat.
Shaked mengungkapkan dirinya telah membayangkan nantinya hukum Israel akan diterapkan di Area C. Sedangkan Area A dan B akan menjadi bagian dari sebuah konfederasi, mencakup Gaza dan Yordania.
Menurutnya, pengaturan ini akan menjadi solusi bagi perdamaian. "Hari ini, kedaulatan Israel di Area C dan sebuah konfederasi di Area A dan B dengan Yordania terlihat seperti pilihan aneh bagi masyarakat inrernasional, namun ini adalah sesuatu yang akan terus kita bicarakan dan jelaskan. Saya percaya dalam tiga tahun dari sekarang masyarakat internasional akan mengerti ini adalah solusi yang tepat," ucap Shaked.
Ketika ditanya apakah pemerintahan AS yang dipimpin Donald Trump saat ini membuat hal tersebut mungkin terjadi, Shaked menjawab yakin dan optimistis. "Tentu saja. Dengan pemerintahan Obama masalah ini lebih sulit. Gedung Putih sekarang lebih terbuka dan saya pikir Trump adalah presiden yang sangat pemberani. Dia berpikir di luar kotak dan tidak terikat paradigma lama Departemen Luar Negeri," tuturnya.