REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pemerintah Bangladesh meminta Myanmar menarik mundur pasukannya dari garis perbatasan kedua negara, di mana ribuan pengungsi Rohingya berlindung. Bangladesh menilai pasukan Myanmar bisa menekan kondisi psikis pengungsi yang akan direpatriasi.
Pada Kamis (1/3), sekitar 100-200 tentara Myanmar muncul di dekat perbatasan dengan Bangladesh. Mereka dikerahkan dengan persenjataan lengkap, mencakup senapan mesin dan mortir.
Tak jauh dari perbatasan, terdapat lahan tak bertuan yang ditinggali lebih dari 5.000 pengungsi Rohingya. Mereka hidup di kamp-kamp darurat.
Melihat pengerahan pasukan tersebut, Bangladesh segera memanggil duta besar Myanmar di negaranya. Pemerintah Bangladesh meminta agar ratusan pasukan dan persenjataannya ditarik kembali dari perbatasan.
Sementara itu, pejabat perbatasan Bangladesh Brigadir Jenderal Mujibur Rahman mengatakan pengerahan dan gerakan pasukan Myanmar di perbatasan telah melanggar norma-norma internasional. "Kami mengirimkan mereka sebuah catatan protes. Setelah catatan protes dikirim, mereka justru meletakkan senjata berat, seperti senapan mesin dan mortir," ujarnya, dikutip laman BBC.
Myanmar dan Bangladesh telah mencapai kesepakatan repatrasi pengungsi Rohingya pada November 2017. Namun kesepakatan ini dianggap masih cacat karena belum menyinggung dan menyantumkan perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi pengungsi yang kembali ke desanya di negara bagian Rakhine.
Hal ini tak ayal membuat ribuan pengungsi Rohingya yang hendak direpatriasi memutuskan kembali ke tenda-tenda pengungsian di Bangladesh. Mayor Iqbal Ahmed, seorang pejabat senior penjaga perbatasan Bangladesh, pada Selasa (27/2) malam, mengatakan, terdapat sekitar 2.000 pengungsi yang kembali ke tenda-tenda pengungsian di negaranya. Sebelumnya mereka telah tinggal di zona tak bertuan di antara perbatasan Bangladesh dan Myanmar.
Mereka meninggalkan tempat itu dalam ketakutan. Sekarang ada sekitar 2.500-3.000 orang di lahan tak bertuan itu. "Kami berbicara dengan beberapaorang dari mereka dan meminta mereka kembali, tapi mereka bilang tidak bisa," ungkap Ahmed.
Dil Mohammed, seorang pemimpin pengungsi Rohingya yang tinggal di zona tak bertuan di antara perbatasan Bangladesh dan Myanmar mengatakan, sebuah pertemuan dengan tokoh masyarakat Rohingya yang dijanjikan pemerintah Myanmar tidak terwujud. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang jaminan keselamatan mereka. "Kami terus menerus takut. Kami tidak akan pergi ke kamp-kamp," kata Mohammed mengacu pada kamp-kamp sementara yang telah dibangun Myanmar untuk menampung pengungsi yang akan dipulangkan ke desanya di bawah perjanjian repatriasi yang disepakati November tahun lalu.
Menurut Mohammed, dengan tidak adanya komunikasi antara pemerintah Myanmar dan tokoh Rohingya, sangat riskan bagi para pengungsi untuk kembali ke desanya."Tidak ada jaminan untuk hidup. Kami membutuhkan keamanan dan semua hak dasar, termasuk kewarganegaraan, seperti komunitas lain yang diberikan oleh pemerintah Myanmar," ujarnya.