REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian melakukan kunjungan resmi ke Iran, Senin (5/3). Kunjungan ini dimanfaatkan Le Drian untuk membahas kesepakatan nuklir yang tercapai pada 2015.
Kunjungan Le Drian ke Iran sebenarnya hendak dilakukan pada Januari lalu. Namun karena gelombang demonstrasi anti-pemerintah meletus di hampir seluruh daerah Iran, kunjungan tersebut dibatalkan.
Tujuan utama kunjungan Le Drian ke Iran adalah untuk membahas kesepakatan nuklir. "Kami ingin mempertahankan kesepakatan nuklirkarena ini bekerja, kuat, dan rakyat Iran menghormatinya," kata tim Le Drian mengungkapkan, dikutip laman Al Araby.
Selain tentang kesepakatan nuklir, Le Drian juga akan membahas perihal proyek rudal balistik yang tengah dikembangkan Iran. Iatelah mengatakan bahwa proyek tersebut akan selalu dicurigai dengan alasan pengembangan senjata nuklir.
Tak hanya itu, menurut Le Drian pengembangan rudal balistik sangat berpotensi membuat Iran dijatuhkan sanksi baru. Ada program rudal yang bisa menempuh jarak beberapa ribu kilometer, yang tidak sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB dan melebihi kebutuhan untuk mempertahankan wilayah perbatasan Iran. "Jika tidak dibatasi, negara ini berisiko dijatuhi sanksi baru," ujarnya sebelum bertolak ke Iran.
Kendati demikian, Iran telah membantah bahwa mereka hendak mengembangkan senjata nuklir. Adapun rudal yang kini tengah gencar dibangun murni defensif. Iran pun telah menegaskan bahwa mereka tidak akan menerima amandemen apapun dalam perjanjian nuklir, baik di masa sekarang maupun masa mendatang.
Terlepas dari perbedaaan ini, Iran menyambut upaya Prancis untuk kembali menjalin hubungan ekonomi dan politik dengannya. Tahun lalu, misalnya, Iran menandatangani kontrak eksplorasi gas senilai 5 miliar dolar AS dengan perusahaan raksasa energi Prancis, Total.
Iran dan lima negara kekuatan dunia, yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Rusia, Cina, ditambah Jerman dan Uni Eropa telah menyepakati sebuah kesepakatan nuklir. Kesepakatan ini ditandatangani pada Oktober 2015 dan mulai dilaksanakan pada awal 2016.
Kesepakatan nuklir Iran tercapai melalui negosiasi panjang dan alot. Tujuan dari kesepakatan ini adalah satu, yakni memastikan bahwa penggunaan nuklir Iran hanya terbatas pada kepentingan sipil dan bukan untuk keperluan militer. Imbalannya adalah sanksi dan embargo ekonomi terhadap Teheran akan dicabut.
Namun dalam kesepakatan nuklir tersebut memang tidak disinggung perihal pengembangan rudal balistik yang saat ini tengah gencar dilakukan Iran. Hal ini kemudian memicu protes, terutama oleh Presiden AS Donald Trump. Ia menilai kesepakatan nuklir Iran yang disepakati pada era Barack Obama cacat dan harus direvisi.
Pada pertengahan Oktober 2017, Trump menolak memperpanjang kesepakatan nuklir tersebut. Ia menuding Iran telah melanggar kesepakatan dengan membangun senjata nuklir berbahaya.