Selasa 06 Mar 2018 20:34 WIB

Sri Lanka Umumkan Keadaan Darurat Selama 10 Hari

Toko dan masjid rusak akibat bentrokan antara umat Buddha dan minioritas Muslim.

Rep: Kamran Dikarna/ Red: Budi Raharjo
Aparat keamanan berjaga di dekat rumah yang dirusak massa akibat kerusuhan berbau SARA di Srilanka.
Foto: Reuters
Aparat keamanan berjaga di dekat rumah yang dirusak massa akibat kerusuhan berbau SARA di Srilanka.

REPUBLIKA.CO.ID,KOLOMBO -- Pemerintah Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat selama 10 hari pada Selasa (6/3). Masa darurat ini akan digunakan untuk mengendalikan penyebaran kekerasan komunal atau lintas agama di negara tersebut.

 

"Pada sebuah pertemuan kabinet khusus, diputuskan untuk mengumumkan keadaan darurat selama 10 hari guna mencegah penyebaran kerusuhan komunal ke bagian lain negara ini," kata juru bicara pemerintah Sri Lanka Dayasiri Jayasekara dikutip Reuters.

 

Pada masa darurat tersebut, pemerintan Sri Lanka juga akan menindak tegas tindakan provokatif melalui jejaring sosial Facebook. "Ini juga memutuskan untuk mengambil langkah tegas terhadap orang-orang yang memicu kekerasan melalui Facebook," ungkap Jayasekara menerangkan.

 

Pada akhir Februari lalu, tepatnya Selasa (27/2), lima orang terluka akibat bentrokan antara umat Buddha Sinhala dan minoritas Muslim di kota Ampara. Beberapa toko dan sebuah masjid rusak akibat kejadian ini.

 

"Kepolisian dikerahkan ke Ampara di bagian timur guna mengendalikan kerusuhan tersebut setelah warga Sinhala menyerang sebuah masjid, empat toko, dan beberapa kendaraan," kata juru bicara kepolisian Ruwan Gunasekara akhir bulan lalu.

 

Ia mengatakan, penyelidikan segera dilakukan guna mengungkap pelaku kerusuhan. Namun Gunasekara menyatakan belum ada penangkapan yang dilakukan hingga saat ini.

 

Dewan Muslim Sri Lanka (MCSL), sebuah badan yang menjadi wadah organisasi Muslim di negara tersebut mengecam kerusuhan di Ampara. MCSL mendesak pemerintah melakukan penyelidikan yang tidak memihak dan menangkap semua pelaku.

 

"Pemerintah memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin keselamatan dan keamanan semua warganya terlepas dari kepercayaan agama, kasta, atau entitas," kata MCSL dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Aljazirah.

 

MCSL mengaku telah jenuh menyaksikan umat Muslim di Sri Lanka kerap menjadi sasaran kekerasan kelompok Buddhis garis keras. "Bentuk kekerasan massa ini terus berkembang dan tempat usaha Muslim menjadi sasaran," ujarnya.

 

Selama setahun terakhir, Sri Lanka dilanda ketegangan antara dua komunitas keagamaan, yakni antara kelompok ekstremis Buddha dan Muslim. Sekelompok Buddhis garis keras di negara tersebut menuding orang-orang Muslim memaksa warga di sana untuk memeluk Islam. Tak hanya itu, Muslim pun dituduh telah merusak situs arkeologi Buddhis.

 

Saat Presiden Sri Lanka Maithripala Siresena dilantik pada 2015 lalu, ia telah berjanji akan siap menyelidiki kejahatan anti-Muslim. Ia pun berjanji akan menyediakan perlindungan bagi kelompok minoritas. Namun janji ini tampaknya belum terealisasi. Sebab kekerasan terhadap Muslim masih terus berlanjut.

 

Bahkan tahun lalu, para diplomat mendesak pemerintah Sri Lanka untuk menegakkan hak-hak minoritas sehubungan dengan intensnya kekerasan terhadap Muslim. Mereka menekankan tentang pentingnya menghormati hak kebebasan beragama.

 

Sri Lanka merupakan negara berpenduduk 21 juta jiwa. 70 persen warga memeluk agama Buddha. Penganut Hindu berada di belakangnya dengan total populasi mencapai 13 persen. Sedangkan Muslim hanya sekitar 9 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement