REPUBLIKA.CO.ID, Rumah sakit al-Amal terletak kira-kira 50 kaki atau 15 meter dari perbatasan Suriah di Reyhanli, Turki. Menurut sebuah LSM yang mendukung rumah sakit tersebut, Syria American Medical Society adalah satu-satunya rumah sakit yang dikelola oleh LSM Suriah dengan persetujuan dari pihak berwenang Turki untuk mengobati korban konflik Suriah.
Dilansir Aljazirah, Selasa (6/3), setiap hari, pasien dan keluarga mereka melintasi perbatasan untuk memperoleh pengobatan dari staf sukrelawan di al-Amal, yang pada umumnya merupakan pengungsi. Perang saudara Suriah, yang dimulai dengan tindakan keras demonstran pro demokrasi oleh pasukan pemerintah Presiden Bashar al-Assad pada 2011, telah mengakibatkan kematian lebih dari 465 ribu orang Suriah. Bahkan, lebih dari 1 juta orang terluka dan setidaknya 12 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Rumah sakit dan fasilitas medis lainnya telah menjadi sasaran konflik. LSM Physicians for Human Rights (PHR) yang berbasis di New York mendokumentasikan 492 serangan terhadap fasilitas medis sejak awal konflik. PHR dan pengawas lainnya menuduh Pemerintah Suriah sengaja menargetkan pekerja dan fasilitas medis selama konflik berlangsung.
Dalam kondisi ini, banyak petugas kesehatan telah meninggalkan Suriah. Mereka menawarkan layanannya ke tempat-tempat seperti al-Amal, yang memberikan perawatan bagi mereka yang tidak memiliki tempat lain untuk dituju.
Pasien dan sukarelawan yang berada di rumah sakit ini menceritakan kisah mereka yang diliputi perang, kekerasan, hingga keinginan untuk kembali ke Suriah. Salah seorang dokter yang berada di rumah sakit ini, Hisyam Bishmar, mengatakan, ia adalah seorang dokter Suriah-Amerika yang berbasis di AS. Dia pergi ke Turki untuk menjadi sukarelawan sebagai ahli bedah di Rumah Sakit al-Amal.
"Saya pikir itu adalah rekaman seorang ayah yang membawa anaknya dengan lengan diamputasi sepenuhnya. Itulah yang sebenarnya yang membawa saya untuk menghubungi Society Medis Amerika Syria, dan mereka menghubungkan saya dengan fasilitas di Turki," katanya.
Dia mengatakan, sesampainya di Turki, Hisyam diberi sebuah klinik oleh LSM tersebut. Ia mulai didatangi pasien satu demi satu. Dia mengaku sempat kewalahan dengan jumlah pasien yang begitu banyak dan dengan luka serius yang mereka alami. Bahkan, beberapa pasien menyampaikan cerita di balik luka yang mereka alami.
Menurut Hisyam, cerita pasien tersebut menambah tekanan emosional padanya saat melakukan pengobatan. "Kita pasti tidak ingin membuat keputusan medis berdasarkan emosi pribadi," katanya.
Menurut dia, hal yang begitu memengaruhi emosinya yaitu saat melihat korban anak-anak. Anak-anak korban perang akan mengalami trauma yang besar dan akan memengaruhi tumbuh kembangnya.
Hisyam mengatakan, dunia terus mengulangi konflik yang sama, tetapi tidak ada hal berbeda yang dilakukan untuk menghentikan konflik tersebut. Mulai dari Srebrenica, Rwanda, Darfur, dan sekarang Suriah.
"Saya tidak berpikir apa yang saya lakukan benar-benar sesuatu yang istimewa, tapi saya pikir sedikit membantu. Saya cukup beruntung bisa membantu, terlepas dari apakah itu besar atau kecil. Itu tidak masalah. Yang penting bagi saya adalah sayasedang melakukan sesuatu," katanya menambahkan.
Sementara itu, seorang pejuang Free Syria Army, Mohammed (bukan nama sebenarnya), mengunjungi al-Amal setelah mengalami luka tembak. "Saya melindungi rekan saya. Lalu, sebuah peluru datang dan mengenai tangan saya. Butuh waktu empat hari bagi saya untuk mencapai Turki karena di rumah sakit Suriah mereka akan membunuh jika mereka menangkap saya. Itu terjadi pada beberapa teman," katanya.
Dia mengatakan, jika pasukan pro pemerintah Assad mengetahui identitas aslinya maka mereka akan membunuh kedua orang tuanya secara langsung.
Mohammed menceritakan, ia mulai melakukan gerakan revolusi. Dia dan beberapa rekannya tidak menggunakan senjata. Mereka hanya membawa beberapa poster dan bendera. Namun, pasukan pemerintah menembak dengan menggunakan roket, bom, dan tank di beberapa lokasi. Seperti pasar, ambulans, dan beberapa lokasi lainnnya.
"Kita tidak pernah membayangkan kita akan menjadi pejuang. Kami adalah warga negara. Kami bukan teroris. Semua orang harus mengerti: kita hanya membela diri - itu saja. " katanya menambahkan.
Dua orang anak memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Desa Shifunieh, Ghouta Timur, Suriah, Ahad (25/2).
Kisah lainnya datang dari staf admin di Rumah Sakit Al-Amal. Promise mulai bekerja sebagai administrator di al-Amal pada 2015 setelah tiba di Turki sebagai pengungsi pada 2015. Dia tetap berharap dapat kembali ke rumah suatu hari nanti.
"Pada 2011, saya belajar untuk ujian sarjana muda. Demonstrasi dimulai, dan kami bergabung dengan mereka. Kami semua berkomunikasi melalui jaringan dan saya menyebarkan berita melalui jaringan," katanya.
Dia menjelaskan, pada saat itu, namanya ada di pos pemeriksaan keamanan. Ia mengaku takut karena banyak perempuan ditangkap dan disiksa. Menurut dia, mati oleh peluru lebih baik daripada ditangkap oleh rezim pemerintah.
"Gelang ini adalah simbol revolusi bahwa kita akan terus maju tidak peduli apa pun. Itu berarti kebebasan," ujarnya.
Seorang ibu juga menuturkan kisahnya dari al-Amal. Ibu Abdullah membawa anak laki-lakinya yang berusia lima tahun ke al-Amal setelah terkena pecahan peluru. Keluarga berencana untuk kembali ke Suriah setelah operasi Abdullah.
"Saat itu hari Jumat, saya sedang sibuk di rumah bersama saudara laki-lakinya. Abdullah mendengar suara anak-anak di jalan sehingga dia pergi bermain dengan mereka," katanya.
Tak lama berselang, sebuah ledakan besar terjadi. Abdullah kehilangan fungsi di tangan kirinya. Kaki kirinya dan tubuhnya penuh pecahan peluru. "Saya berharap bahwa Tuhan menyembuhkan dia dan semua anak-anak dan memperbaiki Suriah dari situasi ini," katanya menambahkan.