Jumat 09 Mar 2018 07:32 WIB

Israel Keluarkan UU Pencabutan Izin Tinggal Warga Palestina

UU yang dikenal dengan sebutan UU 'breach of loyalty' ini telah disahkan.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Winda Destiana Putri
Palestina
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM - Parlemen Israel telah mengeluarkan undang-undang (UU) yang memungkinkan Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut izin tinggal warga Palestina di Yerusalem. UU yang dikenal dengan sebutan UU 'breach of loyalty' ini telah disahkan pada Rabu (7/3) lalu.

UU ini juga akan berlaku bagi warga Palestina yang status tempat tinggalnya diperoleh berdasarkan informasi dan dokumen palsu. Selain itu, warga Palestina akan dicabut hak tinggalnya jika melakukan tindak pidana.

Di bawah UU baru ini, Kementerian Dalam Negeri Israel dapat mencabut dokumen tinggal milik warga Palestina yang dianggap sebagai ancaman. Anggota senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Hanan Asnawi menggambarkan UU tersebut sebagai UU legislasi yang sangat rasis.

"Tidak etis melucuti tempat tinggal warga Palestina dari Yerusalem dan merampas hak-hak orang-orang Palestina untuk tetap tinggal di kota mereka sendiri. Pemerintah Israel membangkangi hukum internasional serta melanggar hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan internasional," kata Ashrawi, seperti dilaporkan kantor berita Palestina, Wafa.

Menteri Dalam Negeri Israel Aryeh Deri, pemimpin partai politik ultra-Ortodoks, Shas, mengatakan UU ini akan melindungi keamanan warga Israel. Deri, yang pernah dihukum karena kasus penyuapan, kecurangan, dan penyalahgunaan kekuasaan, mengatakan UU tersebut akan digunakan untuk melawan penduduk tetap yang berencana melakukan serangan terhadap warga Israel.

UU baru Israel itu hanya akan memperburuk kondisi sulit 420 ribu warga Palestina yang tinggal di wilayah Yerusalem Timur yang diduduki. Mereka telah diperlakukan sebagai imigran asing oleh Israel.

Israel mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka yang abadi dan tidak terbagi. Namun orang-orang Palestina yang lahir dan tinggal di sana tidak diberikan kewarganegaraan Israel, tidak seperti penduduk Yahudi lainnya.

Warga Palestina di kota itu hanya diberi kartu izin tinggal permanen dan paspor sementara Yordania yang bisa digunakan untuk melakukan perjalanan. Mereka pada dasarnya tidak memiliki kewarganegaraan dan terjebak dalam limbo hukum. Mereka bukan warga negara Israel, juga bukan warga Yordania atau Palestina.

Setiap warga Palestina yang telah tinggal di luar Yerusalem untuk jangka waktu tertentu, baik di luar negeri atau bahkan di wilayah Tepi Barat yang diduduki, berisiko kehilangan hak mereka untuk tinggal di Yerusalem. Sejak 1967, Israel telah mencabut izin tinggal sedikitnya 14 ribu warga Palestina di kota tersebut.

Kelompok HAM Palestina di Israel, Adalah, menegaskan UU itu telah melanggar hukum internasional. "Yerusalem Timur dianggap sebagai wilayah yang diduduki berdasarkan hukum humaniter internasional (IHL), seperti wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Penduduk Palestina di dalamnya adalah penduduk sipil yang dilindungi," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan, seperti dilaporkan laman Aljazirah.

"Oleh karena itu, di bawah HIL, memaksakan mereka suatu kewajiban dari pendudukan, apalagi menolak izin tinggal permanen atas dasar ini adalah sesuatu yang ilegal," tambah pernyataan itu.

Dalam sebuah laporan belum lama ini, Human Rights Watch mengatakan pencabutan izin tinggal yang memaksa orang-orang Palestina untuk keluar dari Yerusalem, dapat dianggap sebagai kejahatan perang di bawah perjanjian Pengadilan Pidana Internasional (ICC).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement