Sabtu 10 Mar 2018 15:25 WIB

Kisah Perempuan Yazidi Lepas dari Perbudakan Seksual ISIS

Tubuh remaja Farida kadangkala dijual, terkadang diberikan kepada tentara ISIS.

Farida, perempuan Yazidi korban perbudakan seksual ISIS.
Foto: ABC
Farida, perempuan Yazidi korban perbudakan seksual ISIS.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pada usia 17 tahun, Farida dipaksa menjalani perbudakan seksual oleh tentara ISIS. Inilah kisah pelariannya sampai sekarang dimana dia bisa tinggal di Jerman.

Di sebuah desa kecil bernama Kojo di Irak utara, Farida menjalani kehidupan yang sederhana. Dia menyimpan mimpi di satu hari nanti bisa bersekolah dan bekerja.

"Kami tidak memiliki impian yang besar. Impian besar saya adalah melanjutkan sekolah untuk menjadi guru matematika," katanya kepada ABC.

Belakangan, sekolah itu menjadi tempat yang tidak pernah hilang dalam ingatan karena menjadi lokasi dimana keluarganya dibunuh. Terlahir dalam keluarga beranggotakan empat bersaudara dengan ayah yang bekerja untuk Angkatan Darat Irak, Farida memiliki kekuatan yang akhirnya menyelamatkan hidupnya.

"Alasan saya berusaha tetap kuat adalah ayah saya mengilhami saya dan berkata, 'Kamu kuat dan saya yakin kamu akan kuat, tidak masalah kapan dan bagaimana'," katanya.

Dia sekarang berpikir ayahnya mungkin telah meramalkan apa yang akan dialaminya - bagaimanapun juga, orang Yazid telah pernah dianiaya beberapa kali sebelumnya. Dan benar saja, pada 3 Agustus 2014, militan Negara Islam Irak Surian (ISIS) mengepung desa-desa di dekat Gunung Sinjar.

Sementara ratusan ribu warga Yazidi melarikan diri ke pegunungan di mana banyak dari mereka kemudian tewas, penduduk di Kojo sangat terlambat - ISIS sudah mulai memblokade desa-desa di dekatnya.

Tenda dimana banyak keluarga warga Yazidi yang mengungsi terlihat dekat dengan Sinjar
Ratusan ribu warga Yazidi mendirikan kamp-kamp di dekat Gunung Sinjar - banyak dari mereka tewas. Reuters: Asmaa Waguih

Pada awalnya ISIS ingin memaksa warga minoritas suku Kurdi ini menjadi Islam, namun kemudian berakhir dengan pembantaian masal. Pria, wanita dan anak-anak dibawa ke sekolah di mana barang-barang berharga dirampas dan mereka dieksekusi.

Dia kehilangan ayahnya dan semua kecuali satu saudara laki-laki. Dia tidak mengetahui keberadaannya saat itu, tapi dia bertahan dengan berpura-pura mati di antara mayat-mayat itu. Farida ditangkap oleh militan dan gadis berusia 17 tahun itu dibawa ke pasar budak di Mosul.

Sekolah di Kojo
Sekolah Kojo dimana penduduk desa dikumpulkan dan dibunuh oleh militan ISIS. Reuters: Alkis Konstantinidis

Dijual sebagai budak seks

Militan ISIS mengelompokkan budak menjadi tiga kategori: perawan yang dijual sebagai budak seks dan menghasilkan pendapatan untuk ISIS; wanita muda dengan anak kecil; dan wanita dengan anak yang lebih tua dan wanita lanjut usia yang melakukan kerja kasar.

Tubuh remaja Farida kadangkala dijual, terkadang diberikan kepada tentara ISIS. "Saya sudah berada di berbagai tempat ketika berada dalam penangkapan, tapi kebanyakan dari mereka, sama saja," katanya.

Mereka diperdagangkan sebagai gadis Yazidi. Tentara ISIS menjual gadis Yazidi dan memberikan mereka sebagai hadiah dan memperkosa mereka berulang-ulang.

"Saya telah menyaksikan semua itu. Mereka menjual saya tanpa uang juga," katanya.

Sebuah indikasi seberapa jauh penyebaran cengkeraman kubu ISIS - di antara para pembelinya adalah militan dari Libya di Afrika utara.

Teman sekolah Farida
Sebagian besar teman sekolah Farida (kedua kanan) ditangkap ISIS. Supplied

Gagal melarikan diri berujung penyiksaan

Selama empat bulan dipenangkapan, Farida dua kali berusaha melarikan diri dari bangunan seperti penjara militer. Setiap upayanya yang gagal mengakibatkan penyiksaan, dan memicunya melakukan tujuh kali upaya bunuh diri.

"Mereka selalu memukuli saya, dan di Suriah suatu hari mereka memukuli saya lebih buruk dari hari-hari lain. Bahkan sampai sekarang beberapa teman saya - orang-orang yang berada di tempat penyekapan yang sama dengan saya mengatakan, 'kami tidak akan pernah lupa bagaimana mereka memukuli Anda'," katanya.

Sementara itu, Farida berpura-pura tidak berbicara bahasa Arab. "Salah satu alasannya adalah saya tidak ingin berkomunikasi dengan mereka untuk mengungkapkan informasi saat mereka mengajukan pertanyaan kepada saya, karena keluarga saya," katanya.

"Juga, saya tidak ingin membaca Alquran. Dan ketika mereka berbicara satu sama lain, saya berpura-pura tidak mengerti bahasa Arab karena saya ingin melihat apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka rencanakan," katanya.

Dan suatu hari, seorang pria Muslim dari wilayah Farida mengatakan kepada militan ISIS bahwa warga etnis Yazidi di desanya bisa berbahasa Arab dan dia telah berbohong dan berlaku curang. Dengan penyamarannya telah terbongkar dan dua gadis yang dipenjara bersamanya baru saja terbunuh, dia menjadi panik.

"Ketika saya melihat bagaimana mereka memukuli para gadis yang lebih muda, berusia delapan dan sembilan tahun, dan mereka memperkosa banyak gadis lain, memukuli mereka, yang memberi saya lebih banyak kekuatan untuk melarikan diri dan menjadi suara bagi mereka," katanya.

Menemukan jalan menuju kebebasan

Suatu hari, Farida menemukan telepon dimana kartu SIM-nya belum dilepas dan menelepon pamannya.

"Ketika saya menelepon paman saya dan mengatakan kepadanya saya adalah Farida, dia mengatakan kepada saya, 'tidak, Farida telah mati'. Dia segera menutup teleponnya," katanya.

"Lalu saya meneleponnya lagi dan mengatakan kepadanya, 'tidak, ini saya, saya masih hidup, sampai saya menuntunnya untuk percaya saya masih hidup," katanya.

Secara emosional, dia mulai merencanakan satu upaya pelarian lagi. Itu adalah sesuatu yang sangat sepele, sebuah tindakan lalai tapi dia berhasil mendapatkan kembali kebebasannya. "Mereka mengira mereka mengunci pintu, tapi pintu itu benar-benar terbuka," katanya.

Farida sebelum dia diperbudak
Sebelum Farida diperbudak, dia menjalani kehidupan "sederhana" di Kojo. Supplied

Malam itu, pukul 01.00 pagi, dia dan kelima gadis lainnya lari keluar dari kompleks penangkapannya di Suriah. Khawatir para militan ISIS akan melacak jejak mereka, gadis-gadis itu berjalan semalaman dan bersembunyi di lembah sampai mereka melihat sebuah rumah.

"Saya memberi tahu teman-teman saya, 'Saya akan pergi dan melihat ke rumah itu apakah mereka dapat membantu kami," katanya.

"Jika keluarga di rumah itu adalah juga militan ISIS, saya tidak akan kembali. Jangan datang ke rumah yang sama dan jangan ikuti saya."

Tapi salah satu gadis itu menyela, "kamu telah membantu saya selama ini, dan saya tidak akan membiarkan kamu pergi sendiri."

Keluarga di rumah ternyata bersedia membantu mereka melarikan diri, namun pelariannya mengungkapkan berbagai motif yang lebih keji dan juga motif keuangan dari sejumlah orang yang membantu para tahanan ISIS. "Mereka membantu kami, tapi kami harus membayarnya belakangan," katanya.

Tidak punya rumah

Farida, seperti banyak mantan budak seks ISIS, mendapati dirinya sendiri berada di sebuah kamp pengungsi di Irak,dibebaskan tapi tidak punya tempat kembali untuk dituju.

Di sana, dia bertemu dengan Profesor Jan Kizilhan, Kepala Program Pengungsi Jerman - Proyek Kuota Khusus yang telah menyediakan program pemulihan psikologis dan memberikan visa kepada 1.100 mantan budak ISIS.

Dia secara pribadi telah mewawancari dan melakukan tes psikologis terhadap 1.400 budak seks seperti Farida. Cerita-cerita itu sangat memilukan.

"Ketika seorang gadis berusia sembilan tahun duduk di depan saya dan menceritakan bagaimana mereka [para teroris] mengawasi saat mereka mengeksekusi ayah dan kakeknya, dan membawanya sendiri ke kota Mosul dan kemudian ke Raqqa, dan selama 10 bulan diperkosa sekitar 100 kali oleh delapan pria yang berbeda, Anda bertanya pada diri sendiri, 'bagaimana ini bisa terjadi?', "katanya.

"Gadis ini sering bertanya kepada saya, 'mengapa manusia begitu kejam?'"

Terkadang butuh waktu berminggu-minggu untuk memutuskan siapa yang bisa diberi kesempatan memulai hidup baru di Jerman. Dengan seorang korban pemerkosaan berusia 16 tahun di sebuah kamp pengungsi, mereka berpikir melarikan diri lagi.

"Pada suatu malam, dia mengalami mimpi buruk dan dia percaya ISIS akan kembali untuk membawanya lagi. Dia panik dan berpikir, 'Apa yang bisa saya lakukan, karena saya tahu jika mereka membawa saya, mereka akan memperkosa saya lagi'," dia berkata.

"Saya berbicara secara darurat dengan pemerintah Jerman dan dalam dua atau tiga hari kami dapat melakukan penerbangan khusus dan membawanya ke Jerman, dan dia telah menjalani 28 operasi."

Kamp pengungsi Zakho
Farida, seperti banyak pengungsi Yazidis, berada di sebuah kamp pengungsi di Zakho, wilayah Kurdistan di Irak. Reuters: Azad Lashkari

Menyesuaikan diri dengan dunia yang lebih aman

Farida dan mantan budak seks lainnya diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan baru di "dunia bebas". Mereka ditampung di rumah-rumah yang aman di barat daya Jerman.

Penyelenggara awalnya takut ISIS akan terus menargetkan wanita-wanita ini  - sekali diperkosa, para wanita tersebut sudah dianggap "menikah" dengan militan dan menjadi milik mereka. Profesor Kizilhan mengatakan beberapa wanita masih terancam oleh para tentara  ISIS melalui media sosial.

Farida bersama temannya, yang masih ditawan oleh IS
Sementara Farida mendapat kesempatan hidup baru di Jerman, sahabatnya (kiri) masih berada di tangan ISIS. Supplied

Ketika anak perempuan dan perempuan dewasa ini pertama kali tiba, mereka meringkuk di ruangan yang sama dan mengunci pintu setiap malam. Sekarang, terkadang mereka menguncinya, terkadang tetap membiarkan pintunya terbuka.

Perlahan, mereka mulai mendapatkan kembali kendali atas kehidupan mereka, kata pekerja sosial program tersebut Marion. “Para Ibu harus tumbuh menjadi peran sebagai kepala keluarga. Mereka tidak tahu peran ini, dan sedikit demi sedikit, mereka mempelajarinya," katanya.

Mereka menjalani kehidupan yang normal di sini, tapi saya pikir mereka belum sepenuhnya pulih. Saya pikir seluruh hidup mereka dibentuk oleh pengalaman. Profesor Kizilhan setuju, namun mengatakan bahwa psikoterapi telah memungkinkan anak perempuan dan para wanita ini mengendalikan gejala [trauma] mereka - dan buktinya terlihat dalam data statistik.

Di kamp pengungsian, dia mendokumentasikan sekitar 60 kasus bunuh diri yang dilakukan mantan budak seks ISIS. Tidak satu pun dari 1.100 anak-anak dan perempuan yang dibantu oleh Proyek Kuota Khusus telah mencoba untuk bunuh diri sejak tiba di Jerman.

'Aku bisa hidup lagi'

Tiga tahun kemudian, Farida telah mendapatkan kembali kemerdekaannya. "Ketika saya datang ke Jerman dan mereka membantu saya dan mendukung saya, itu adalah cara agar saya bisa hidup kembali," katanya.

Melalui Proyek Kuota Khusus, dia berhasil bergabung dengan saudara laki-laki dan ibunya. Hidupnya sekarang banyak dihabiskan di berbagai pertemuan, kereta api dan bandara, memberikan hingga 20 pidato dalam seminggu untuk meningkatkan kesadaran tentang kira-kira 3.000 anak perempuan dan perempuan yang masih dalam kondisi perbudakan seksual.

"Saya tahu ini sangat sulit, saya berada dalam situasi yang sama, saya tahu betapa sulitnya bersama mereka [para tentara ISIS], tapi saya ingin memberi tahu anda, jangan putus asa," katanya.

"Komunitas, keluarga, teman-teman Anda menunggu anda,  jangan pernah berpikir bahwa mereka tidak akan menerima Anda. Jadilah orang yang penuh harapan dan suatu hari Anda akan bebas."

Farida di sebuah konferensi
Farida terkadang memberikan 20 pidato setiap minggu untuk meningkatkan kesadaran tentang gadis dan wanita yang masih dalam perbudakan seksual. Supplied

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/sosok/bagaimana-saya-lepas-dari-perbudakan-seksual/9531922
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement