REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Rizkyan Adiyudha, Farah Noersativa
Ratusan biksu bersama sejumlah aktivis di Sri Lanka menggelar aksi di Ibu Kota Colombo. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes atas pecahnya kerusuhan anti-Muslim yang terjadi di negara tersebut.
Mereka menggelar aksi bisu guna menentang penyebaran kekerasan komunal atau lintas agama di negaranya. Para biksu bersama beberapa lapisan masyarakat lainnya mengecam kekerasan yang terjadi di dalam dan sekitar pusat kota Kandy. Mereka berpendapat hal tersebut berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Seperti dilansir laman Aljazirah, Sabtu (10/3), sedikitnya dua orang tewas dalam peristiwa tersebut. Pemerintah Sri Lanka lantas mendeklarasikan situasi darurat nasional selama 10 hari pada Selasa (6/3) menyusul insiden itu. Masa darurat ini akan digunakan untuk mengendalikan penyebaran kekerasan yang terjadi.
Kekerasan tersebut membuat minoritas Muslim di negara itu ketakutan saat hendak melaksanakan Shalat Jumat. Kekhawatiran itu muncul di tengah adanya pandangan kegagalan pasukan keamanan untuk melakukan tindakan terhadap massa yang melakukan perampokan.
Meski demikian, pelaksanaan ibadah tersebut kemudian mendapatkan penjagaan dari para biksu.
Fathima Rizka, seorang anak berusia 25 tahun dari Kandy, mengatakan bahwa ia hidup dalam ketakutan dan tidak dapat tidur sepanjang malam karena semua orang dari keluarganya telah pergi untuk berlindung. Sementara mereka ditinggalkan di rumah.
"Polisi tidak melindungi kita. Mereka hanya berdiri sementara serangan tengah dilakukan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Rizka dilansir di Aljazirah, Jumat (9/3).
Pada Kamis (8/3) waktu setempat, jalanan di sebagian besar kota di Kandy kosong, kecuali ada polisi dan tentara yang berjaga-jaga. Kekerasan dan kehadiran pasukan keamanan yang besar hanya terbatas di perbukitan Sri Lanka.
Rizka mengatakan bahwa kabar menyebar di antara komunitas Muslim di Kandy. Umat Budha disebut-sebut merencanakan serangan di daerah tersebut selama shalat Jumat.
Ia mengatakan masyarakat setempat membuat pengaturan khusus untuk shalat di waktu yang berbeda. Hal itu untuk memastikan bahwa perempuan dan anak-anak tidak ditinggalkan sendirian di rumah mereka.
Sejak kekerasan meletus, kerap muncul tuduhan jika aparat keamanan gagal untuk menangkap pelaku serangan. Mohamed (58 tahun), yang meminta agar nama keluarganya tidak dipublikasikan karena alasan keamanan, mengatakan bahwa pemerintah mengatakan jika mereka akan berbuat lebih banyak untuk menindak massa.
Namun, kenyataannya adalah bahwa umat Islam tidak merasa dilindungi. "Kami merasa ada seseorang yang terlibat dalam posisi tinggi yang memungkinkan massa untuk melarikan diri dengan kejahatan terhadap komunitas kita," kata Mohamed.
Pemerintah telah menangguhkan layanan internet di wilayah tersebut dan memblokir akses ke Facebook dan media sosial lainnya, termasuk WA dan Viber. Hal itu dalam upaya untuk menghentikan penyelenggara dalam merencanakan lebih banyak kekerasan dan menyebarkan rumor palsu.
Aparat yang melakukan investigasi lantas mengatakan, telah menangkap sembilan tersangka yang diduga berada di balik gelombang serangan anti-Muslim oleh kelompok garis keras Buddha Sinhala. Kepolisian mengamankan Amith Jeewan Weerasinghe yang dinilai sebagai provokator gerakan anti-Muslim.
Juru bicara kepolisian Ruwan Gunasekara mengatakan, Amith merupakan anggota sebuah kelompok bernama Mahason Balakaya. Kelompok ini telah menerbitkan video yang berisi pidato kebencian yang ditujukan terhadap umat Islam.