REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Tim pakar hak asasi manusia PBB, yang kini tengah menyelidiki kemungkinan terjadinya genosida di Myanmar, pada Senin (12/3) mengatakan, media sosial Facebook telah berkontribusi buruk dengan menyebarkan ujaran kebencian di negara tersebut.
Facebook hingga kini belum membalas kritik tersebut, meski pada masa lalu mengatakan sudah berupaya menghapus ujaran kebencian di Myanmar dan memblokir akun dari orang yang membagi konten serupa secara rutin. Lebih dari 650 ribu warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, terpaksa mengungsi ke Bangladesh sejak pemerintah menggelar operasi militer di sana pada Agustus tahun lalu. Banyak di antara para pengungsi itu mengaku menyaksikan pembunuhan dan pemerkosaan oleh pasukan keamanan Myanmar.
Pada pekan lalu, kepala HAM PBB mengatakan, dia menduga kuat terjadinya genosida. Komentar itu kemudian dibalas oleh Myanmar yang menuntut bukti yang jelas.
Kepala tim Misi Pencari Fakta Independen PBB untuk Myanmar Marzuki Darusman mengatakan kepada sejumlah wartawan, media sosial telah memainkan peranan besar di Myanmar. "Media sosial telah berkontribusi besar pada level kebencian dan permusuhan serta konflik dalam masyarakat," kata Marzuki.
"Ujaran kebencian tentu saja adalah bagian dari itu. Dan sejauh situasi yang ada di Myanmar, media sosial itu adalah Facebook. Facebook adalah sosial media," kata Marzuki.
Penyidik PBB untuk Myanmar Yanghee Lee mengatakan, Facebook adalah bagian penting dari kehidupan publik dan pribadi masyarakat, dan pemerintah menggunakannya untuk menyebarkan informasi kepada publik. "Semua hal diselesaikan melalui Facebook di Myanmar," kata dia kepada wartawan sambil menambahkan, Facebook telah banyak membantu negara miskin tersebut, tetapi pada saat bersamaan juga digunakan menyebarkan ujaran kebencian.
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)
"Facebook digunakan menyebarkan pesan-pesan kepada publik, namun kita tahu bahwa kelompok Buddhis ultra-nasionalis juga mempunyai akun Facebook dan mereka memprovokasi banyak aksi kekerasan dan kebencian terhadap warga Rohingya dan minoritas etnis lainnya," kata Yanghee.
"Saya khawatir Facebook sudah berubah menjadi monster, dan tidak menjadi media yang diniatkan sebelumnya," kata dia.
Tokoh utama pendeta garis keras di Myanmar yang pada Sabtu lalu mengakhiri larangan mengajar selama satu tahun, Wirathu, mengatakan, retorika anti-Muslim yang dia sampaikan tidak punya hubungan apa pun dengan kekerasan di negara bagian Rakhine. "Facebook memblokir sejumlah akun yang secara rutin menyebar pesan ujaran kebencian," kata perusahaan itu pada bulan lalu sebagai jawaban atas pertanyaan terkait akun milik Wirathu.
"Jika seseorang secara konsisten membagi konten yang berisi kebencian, kami akan mengambil sejumlah tindakan, termasuk memblokir akun mereka untuk sementara waktu, atau bahkan menghapus akun mereka," kata Facebook.