REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegawai negeri sipil (PNS) pria di Indonesia kini bisa mengajukan cuti karena alasan penting, termasuk cuti mendampingi istri melahirkan selama maksimal satu bulan. Meski ada yang menyambut baik kebijakan ini, beberapa pihak merasa durasi 30 hari terlalu lama.
Di bawah Peraturan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2017, PNS pria mendapat hak baru untuk mengajukan cuti karena alasan penting. Dalam aturan yang disahkan 22 Desember 2017 itu tertuli,s “PNS laki-laki yang istrinya melahirkan/operasi caesar dapat diberikan cuti karena alasan penting dengan melampirkan surat keterangan rawat inap dari Unit Pelayanan Kesehatan.”
Adapun mengenai durasi cuti karena alasan penting ditentukan oleh pejabat berwenang paling lama satu bulan. Di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta, aturan ini baru resmi berlaku 20 hari lalu. Menurut keterangan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jakarta Syamsudin Lologau, sejauh ini sudah ada belasan staf PNS DKI yang telah mengajukan cuti jenis ini.
Ia lalu mengatakan, pemberian durasi cuti maksimal 30 hari disesuaikan dengan kebutuhan staf itu sendiri. “Jadi, begini, tergantung dia. Waktu istri saya melahirkan, empat hari sudah balik ke rumah karena persalinan normal ya. Makanya, kalau dikasih lima hari kan Sabtu-Ahad tidak dihitung. Apabila mau tambah, ya silakan saja, kita bisa kasih sampai satu bulan, bisa,” kata pejabat yang dilantik awal Januari 2018 lalu itu.
“Memang tidak ada pencantuman khusus satu bulan, tapi disesuaikan dengan kebutuhan,” ujarnya.
Syamsudin menuturkan, masyarakat harus memahami 30 hari adalah ketentuan maksimal. “Tapi kalau menurut saya, sebenarnya untuk cuti (mendampingi) persalinan, satu minggu saja sudah cukup. Kita juga tidak bisa memaksakan orang untuk cuti satu bulan,” katanya.
Salah satu PNS di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta, Ahmad Reno Amirza, menyambut baik kebijakan baru ini. Ahmad, yang bertugas di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), mengatakan, istrinya yang tengah hamil enam bulan pun turut senang dengan adanya aturan ini.
“Saya disuruh langsung mengajukan cuti. Tapi semua tergantung atasan, berapa lama diizinkan cutinya. Aturannya seminggu sebelum dan tiga minggu sudah sesudah.”
Bagi PNS berusia 40 tahun ini, cuti karena alasan penting dinilai sangat bermanfaat karena peran pria sebagai seorang ayah dan suami. “Namanya istri melahirkan pentinglah didampingi suami. Pengalaman anak pertama belum ada aturan ini, kasihan istri saya sendirian urus bayi,” katanya.
Berbeda dengan Ahmad, Kristiawan mengaku tak akan mengambil cuti tersebut. Ia punya alasan khusus.
“Aturannya kan, kalau ambil cuti itu tunjangan pokok enggak dapat, cuma gaji pokok saja. Karena kalau hanya gaji pokok itu kecil dibandingkan tunjangan pokok itu bisa dua kali lipat dari gaji pokok," ujar PNS di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat ini.
Meski demikian, ia memahami alasan di balik penerbitan aturan tersebut. “Saya paham sih itu tujuannya untuk quality time dan kita memang butuh mendampingi istri. Tapi daripada tidak bisa kasih makan anak dan istri, jadi saya pikir tidak perlu ambil cuti satu bulan, paling mungkin cuti satu hari sebelum melahirkan atau (waktu) istri masuk di rumah sakit. Setelahnya, ya seminggu cuti saya pikir sudah cukup,” kata Kristiawan.
Menariknya, beberapa perempuan pun sependapat dengan pemikiran Kristiawan.
Siti Wahyuni, yang tengah hamil 8 bulan, mengatakan, walau ia berharap suaminya bisa mendampingi saat melahirkan, durasi sebulan dirasanya cukup lama. "Aduh, kita juga repot kalau suami lama-lama di rumah. Mending kerja aja," kata perempuan 37 tahun ini.
“Kalau bisa, seminggu sebelum HPL (Hari Perkiraan Lahir) dan seminggu setelahnya suami sudah bisa cuti di rumah karena melahirkan kan tidak bisa ditebak kapan,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Annisa (24 tahun), warga Jakarta. Menurut perempuan berhijab ini, suasana kekerabatan di Indonesia masih menjadi faktor yang bisa diandalkan.
“Kalau sebulan, nanti pekerjaan dia menumpuk, enggak ada yang mengerjakan. Dan lagi orang Indonesia biasanya banyak kerabat yang bisa bantu perempuan yang habis melahirkan biasanya,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar mengatakan, organisasinya memberikan apresiasi terhadap turunnya kebijakan baru ini. “Kami merespons dengan baik. Sebulan, untuk ayah dalam konteks Indonesia, kami melihatnya sudah cukup baik. Karena di Indonesia ini kan masih ada orang lain, ada mertua juga, neneknya si bayi, jadi banyak support system-nya biasanya,” katanya.
Ia lantas berharap, “Ke depannya kita bisa perjuangkan untuk memperpanjang hak cuti maternitas (bersalin) untuk perempuan, karena cuti bersalin yang ada sekarang kan baru sampai 3 bulan. Padahal masa eksklusif menyusui itu kan maunya 6 bulan.”
Ketika ditanya mengenai beberapa pihak yang menganggap durasi 30 hari terlalu lama bagi pria untuk mengambil cuti (pendampingan) persalinan, Nia menjelaskan situasi yang dihadapi para ibu.
“Empat puluh hari pertama setelah melahirkan itu kan waktu pemulihan untuk ibu. Sebenarnya memandikan bayi, menggantikan popoknya, ikut menemani istri kontrol bayi, itu tugas ayah,” katanya.
Ia juga menambahkan, dukungan untuk menyusui paling besar berasal dari pasangan, yakni dari suami, ayah si bayi. “Memang kelihatannya hanya ibu dan anak, tetapi dukungan eksternal itu juga sangat penting,” katanya kepada ABC.