REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Para pejabat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengutuk penahanan sewenang-wenang terhadap anak-anak Palestina oleh Israel. Menurut PBB, praktik itu telah menjadi sistematis dan tersebar luas.
Dilansir Aljazirah, Rabu (21/3), Wakil komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Kate Gilmore mengatakan serangkaian laporan PBB yang dipresentasikan di Dewan Hak Asasi Manusia menunjukkan kondisi kehidupan orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza telah memburuk secara dramatis selama tahun lalu. Ini juga menunjukan bagaimana anak-anak menanggung beban pendudukan Israel.
"Tahun lalu kita melihat ratusan anak-anak Palestina yang ditahan oleh Israel, beberapa tanpa tuduhan di bawah penahanan administratif," kata Gilmore.
Ia mengatakan dampak konflik terhadap kehidupan anak-anak sama sekali tidak dapat diterima. Pada tahun ini saja, enam anak telah ditembak dan dibunuh dalam konteks demonstrasi.
Pada November 2017, 313 anak Palestina di bawah umur dipenjarakan. Dan sepanjang tahun lalu 729 anak ditahan di Yerusalem Timur.
Pelapor khusus tentang situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, Michael Lynk mengatakan situasi yang dialami anak-anak Palestina begitu memprihatinkan.
Di bawah Konvensi PBB tentang Hak Anak, penahanan seorang anak dilakukan hanya sebagai upaya terakhir. "Namun, perampasan kemerdekaan anak-anak Palestina oleh Israel dilembagakan, sistematis, dan tersebar luas," kata Lynk.
PBB memperkenalkan enam laporan dari Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) di wilayah Palestina yang diduduki. "Setengah abad pendudukan telah sangat merugikan hak asasi manusia hampir setiap warga Palestina, terlepas di mana wilayah pendudukan berada," kata Gilmore.
Salah satu laporan tersebut menggambarkan perluasan pemukiman Israel yang dipercepat di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Pada 2017, pembangunan permukiman hampir dua kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Gilmore mengatakan PBB mencatat peningkatan jumlah proposal legislatif terkait di Israel dan eskalasi yang menyertainya dalam retorika politik. Ini menunjukkan ada langkah menuju pencaplokan secara de facto bagian-bagian Tepi Barat.
Menurutnya, serangkaian pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel menciptakan lingkungan yang memaksa warga Yerusalem Timur untuk pergi. "Ini adalah penghancuran rumah dan penggusuran paksa, akses terbatas terhadap layanan, ancaman kekerasan - termasuk kekerasan di tangan pemukim - pembatasan kebebasan bergerak, dan rezim residensi yang ketat bagi penduduk Palestina di Yerusalem Timur," kata Gilmore.
Situasi yang memburuk di Gaza juga diteliti dalam laporan PBB. "Setelah lebih dari satu dekade di bawah blokade, situasi di Gaza telah memburuk ke titik yang tak tertahankan bagi penghuninya dan tidak bisa dipertahankan untuk masa depan," kata Gilmore.
Ia mengatakan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah padat tersebut benar-benar mengkhawatirkan. Penduduk tidak dapat meninggalkan wilayah itu karena blokade.
Layanan penting seperti kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi memerlukan listrik. Namun warga Gaza hanya menikmati listrik selama 18-20 jam sehari.
Menurut laporan, situasi ini telah membuat sistem kesehatan menjadi tidak beroperasi. Ini mengakibatkan banyak korban meninggal. Warga juga kesulitan melakukan aktivitas harian seperti memasak, mencuci, merawat anak-anak, dan mengunjungi kerabat.
"Kenyataan yang mengerikan ini bagi warga Gaza diakui oleh Israel, dipahami oleh Otoritas Palestina, dan diketahui oleh masyarakat internasional," katanya.
Israel dan sekutu utamanya - AS dan Inggris - memboikot perdebatan tentang situasi hak asasi manusia di Palestina. AS sebelumnya mengecam Dewan Hak Asasi Manusia PBB terkait perlakuan bias lembaga itu terhadap Israel.