REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Partai Buruh dan serikat pekerja Australia mengusulkan cuti berbayar bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Cuti berbayar diusulkan selama 10 hari dalam setahun. Namun, usulan tersebut hanya disepakati cuti lima hari tanpa dibayar.
Kisah KDRT yang dialami anggota DPR Australia Emma Husar sudah umum di negara ini. Satu dari tiga wanita Australia pernah mengalaminya. "Saat-saat yang paling berbahaya bagi seorang wanita adalah ketika meninggalkan rumah dan begitulah jalan yang saya tempuh," katanya.
Politisi Partai Buruh Australia tersebut sebelumnya telah mengungkapkan kekejaman ayahnya di masa lalu. Kini dia mengungkapkan perjuangan yang masih dihadapinya setelah melarikan diri dari pasangannya pada 2015. Tiga tahun kemudian, masalah yang dihadapinya belum selesai.
"Tahun ini saja saya sudah menghadiri empat persidangan. Masih akan ada dua sidang lagi dalam beberapa bulan ke depan," kata Emma.
Dia mengatakan cukup beruntung karena bisa meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri segala pertemuan dan konseling terkait kasusnya. Namun tidak semua korban memiliki posisi yang sama.
Partai Buruh dan serikat pekerja menginginkan cuti berbayar bagi korban KDRT selama 10 hari dalam setahun diwajibkan bagi perusahaan. Usulan tersebut telah diajukan ke Fair Work Commission dan para komisionernya memutuskan menerima perlunya cuti bagi korban KDRT lima hari dalam setahun tapi tidak berbayar.
"Dengan memperhatikan bukti tentang dampaknya terhadap karyawan yang alami KDRT, bukti indikatif pemanfaatan hak cuti KDRT yang ada, serta usulan para pihak, kami berpendapat bahwa lima hari cuti tidak dibayar per tahun merupakan hak yang adil dan relevan," demikian dikatakan komisi Fair Work.
Keputusan tersebut berlaku bagi seluruh karyawan termasuk yang kontrak atau kausal dan akan berlaku penuh, setiap periode 12 bulan. Hak cuti tersebut tidak akan berakumulasi dari tahun ke tahun. Selain itu hanya bisa digunakan jika karyawan tak dapat membuat janji di luar jam kerja biasa yang berhubungan dengan situasi mereka.
Steve Smith dari Kelompok Industri Australia mengatakan keputusan Fair Work itu masuk akal. "Pendekatan kami yaitu menyerahkan masalah ini pada masing-masing perusahaan, menyadari bahwa UKM dan perusahaan besar memiliki kapasitas berbeda dalam memberikan bantuan," katanya.
"Fair Work telah mempertimbangkan seluruh argumen berbeda dan menyimpulkan bahwa lima hari cuti yang tidak dibayar sudah tepat. Kami menerima keputusan itu," kata Smith.
Keputusan itu akan berdampak pada sekitar 2,3 juta karyawan dan Pemerintah Australia ingin memperluas cakupannya. Pemerintah mengumumkan akan mengajukan RUU untuk memperluas hak yang sama bagi semua karyawan menurut UU Fair Work.
Menteri Urusan Tempat Kerja Craig Laundy mengatakan langkah itu nanti akan menguntungkan 6 juta pekerja.
"Kami ingin memastikan jaring pengaman yang konsisten bagi karyawan yang dicakup oleh sistem tempat kerja nasional. Kami akan mengubah UU sesuai dengan klausul model terakhir untuk memberikan akses pekerja lainnya ke cuti tak dibayar dengan persyaratan yang sama," katanya.
Smith belum mendukung apa yang diumumkan pemerintah tersebut. "Saya tidak akan sejauh itu mengingat pengumuman ini baru saja disampaikan. Kami harus melihat rinciannya. Namun kami memahami alasan Pemerintah membuat keputusan ini," katanya.
Emma Husar mengatakan Pemerintah Australia tidak mengerti pokok persoalan. Dia bersikukuh perlunya cuti berbayar bagi korban KDRT. "Satu hal yang membantu wanita keluar dari situasi ini yaitu keamanan finansial. Kita tak bisa mendapatkan keamanan finansial jika kita cuti tanpa dibayar," ujarnya.
Dia menekankan perlunya dukungan keuangan dengan merefleksikan bagaimana dia bahkan tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan anak-anaknya.
"Anda berusaha mendukung anak-anak, mencoba pindah rumah, dan mungkin ada seseorang yang tidak mau membayar tunjangan anak Anda atau yang tidak kooperatif secara finansial. Anda mungkin bergantung pada setiap sen yang Anda miliki," kata Emma.
Ada sejumlah perusahaan yang sudah memberlakukan cuti berbayar bagi korban KDRT seperti Virgin, Bank NAB, dan Telstra. Namun, Partai Buruh menghendaki semua perusahaan melakukan hal yang sama. Oposisi Australia tersebut berjanji memberlakukan hal itu jika nanti terpilih dalam pemilu.
Juru bicara oposisi urusan ketenagakerjaan Brendan O'Connor mendesak PM Malcolm Turnbull mempertimbangkan kembali posisinya.
"Kita harus mengatasi momok KDRT. Salah satu caranya adalah menyediakan tempat kerja yang mendukung. Saya kira Malcolm Turnbull punya kesempatan namun dia menyia-nyiakannya. Sangat memalukan," ujar O'Connor.