Rabu 28 Mar 2018 11:45 WIB

Kampanye Brexit Diduga Gunakan Data Curian dari Facebook

Mantan karyawan Cambridge Analytica bersaksi di parlemen Inggris soal pencurian data.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Perwakilan tetap Inggris untuk Uni Eropa Tim Barrow (kanan) usai menyerahkan surat resmi Brexit dari PM Inggris Theresia May kepada Presiden Uni Eropa Donald Tusk.
Foto: Yves Herman/Pool Photo via AP
Perwakilan tetap Inggris untuk Uni Eropa Tim Barrow (kanan) usai menyerahkan surat resmi Brexit dari PM Inggris Theresia May kepada Presiden Uni Eropa Donald Tusk.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kampanye Brexit yang mendorong Inggris untuk keluar dari Uni Eropa juga diduga telah menggunakan data yang dicuri dari Facebook. Hal ini diungkapkan seorang pakar komputer yang juga mantan karyawan perusahaan analisis data Cambridge Analytica, Christopher Wylie.

Sebelumnya, ia telah mengungkapkan, 50 juta data pengguna Facebook telah dicuri dan digunakan dalam pemilu presiden AS pada 2016 untuk membantu kemenangan Presiden AS Donald Trump. Namun, Gedung Putih telah berulang kali membantah tuduhan tersebut.

Wylie muncul dalam sebuah sidang yang berlangsung selama 3,5 jam di hadapan komite media House of Commons di parlemen Inggris, Selasa (27/3). Ia mengatakan, data Facebook yang dicuri oleh Cambridge Analytica juga tersedia untuk perusahaan lain.

Semua pihak memiliki akses untuk mendapatkan data itu. Data tersebut ada di mana-mana, kata Wylie. Menurut dia, data itu biasa digunakan untuk menargetkan dan membujuk para pemilih.

Di antara perusahaan yang memiliki akses ke data tersebut, salah satunya adalah AggregateIQ. AggregateIQ adalah konsultan politik Kanada yang bekerja untuk Vote Leave, kampanye resmi yang mendukung penarikan Inggris dari Uni Eropa.

Wylie mengatakan, dia benar-benar percaya AggregateIQ telah menggunakan basis data dari Cambridge Analytica untuk menggerakkan kampanye Brexit. Dalam referendum yang digelar dengan ketat pada 2016, 51,9 persen pemilih mendukung kepergian Inggris dari Uni Eropa.

"Saya pikir sangat masuk akal untuk mengatakan AIQ memainkan peran yang sangat signifikan dalam referendum itu," kata Wylie.

Dia bersaksi, AggregateIQ dibentuk ketika Cambridge Analytica berusaha memperluas jaringannya. Kedua perusahaan itu berbagi informasi teknologi dan bekerja sama erat sehingga staf Cambridge Analytica sering menyebut AggregateIQ sebagai sebuah departemen.

"Karena hubungan baik antara kedua perusahaan ini, kampanye Vote Leave berhasil meraih keberhasilan. AggregateIQ adalah sebuah perusahaan yang dapat melakukan hampir semua hal yang (Cambridge Analytica) dapat lakukan, tetapi dengan nama yang berbeda," papar Wylie.

AggregateIQ, yang berbasis di Victoria, British Columbia, kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa perusahaannya tidak pernah menjadi bagian dari Cambridge Analytica.

"AggregateIQ bekerja dengan kepatuhan penuh terhadap semua persyaratan hukum dan peraturan di semua yurisdiksi tempat kami beroperasi. Semua pekerjaan yang dilakukan AggregateIQ untuk setiap klien, akan disimpan terpisah dari klien lainnya," kata perusahaan itu.

Kesaksian Wylie disampaikan sehari setelah dua mantan karyawan Cambridge Analytica lainnya mempresentasikan 50 halaman dokumen yang diduga sebagai bukti bahwa Vote Leave telah melanggar aturan keuangan selama kampanye referendum. Mereka menuduh Vote Leave menyumbang 888 ribu dolar AS kepada kelompok pelajar pro-Brexit, BeLeave, dan kemudian mengirim uang langsung ke AggregateIQ.

Vote Leave membantah telah melanggar peraturan keuangan kampanye apa pun. Dominic Cummings, ahli strategi Vote Leave, menyebut Wylie sebagai seorang yang mengada-ada.

Wylie mendeskripsikan Cambridge Analytica sebagai salah satu cabang dari perusahaan global, SCL Group. Perusahaan ini memperoleh sebagian besar pendapatannya dari kontrak militer dan sering disewa untuk menjadi senjata politik, terutama di negara-negara yang lembaga demokrasinya lemah.

Menurut Wylie, perusahaan itu menggabungkan algoritma komputer dan trik kotor untuk membantu seorang kandidat untuk menang dalam pemilihan, terlepas dari konsekuensi yang akan diterima. Ia mengaku membantu mendirikan Cambridge Analytica pada 2013 dan keluar pada tahun berikutnya.

CEO Cambridge Analytica, Alexander Tayler, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Wylie adalah mantan karyawan kontrak paruh waktu. Wylie disebut tidak memiliki informasi langsung mengenai perusahaan itu sejak dia keluar pada 2014.

sumber : AP

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement