REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengungkapkan keterkejutannya atas komentar kepala militer Myanmar mengenai Rohingya. Petinggi militer tersebut mengatakan bahwa minoritas Rohingya tidak memiliki kesamaan dengan penduduk lainnya dan tuntutan mereka untuk meminta kewarganegaraan justru memicu kekerasan baru-baru ini.
Hampir 700 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak militer melancarkan operasi di negara bagian Rakhine Myanmar, sebagai balasan atas serangan gerilyawan terhadap pasukan keamanan pada Agustus, menurut perkiraan PBB. Amerika Serikat dan PBB menggambarkan operasi itu sebagai pembersihan etnis Rohingya, yang kemudian dibantah oleh Myanmar.
Dalam sebuah pidato kepada personil militer dan keluarga mereka pekan lalu di Negara Bagian Kachin utara, Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan bahwa Rohingya tidak memiliki karakteristik atau budaya yang sama dengan etnis di Myanmar, menurut situs webnya.
Panglima militer itu juga mengatakan ketegangan di Rakhine dipicu karena orang "Bengali" menuntut kewarganegaraan. Penyebutan itu menggunakan istilah yang ditolak oleh aktivis Rohingya karena menyiratkan bahwa mereka adalah imigran gelap dari Bangladesh.
Sekjen PBB Guterres dalam sebuah pernyataan, Senin (26/3), menyampaikan bahwa ia "terkejut" atas komentar tersebut dan mendesak semua pemimpin di Myanmar untuk mengambil sikap terpadu melawan hasutan kebencian dan harus mempromosikan keharmonisan komunal. Guterres mengulangi kembali pentingnya menangani akar penyebab kekerasan dan menagih tanggung jawab Pemerintah Myanmar untuk memberikan keamanan dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, katanya.
Meskipun banyak orang Rohingya mengatakan keluarga mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun mereka tidak termasuk di antara 135 kelompok etnis yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan justru ditolak kewarganegaraan.
Beberapa panggilan ke juru bicara militer guna meminta komentar tidak mendapat tanggapan. Panglima militer adalah tokoh berpengaruh di bawah konstitusi Myanmar, yang mewajibkan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi untuk berbagi kekuasaan dengan militer.
Sebelumnya, pemerintah Bangladesh yang telah menampung etnis Rohingya dari Myanmar berencana untuk membuat lokasi penampungan sementara di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Demi mewujudkan rencana tersebut, pemerintah Bangladesh mulai mempertimbangkan untuk meminta bantuan internasional guna mendanai proyek yang jika selesai mampu menampung sekitar 100 ribu orang pengungsi tersebut.