Rabu 28 Mar 2018 16:26 WIB

Cina Minta Eropa-AS Tinggalkan Pemikiran Era Perang Dingin

Cina mengawasi eskalasi perselisihan antara Rusia-Eropa-AS akibat kasus Skripal.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Polisi Inggris berjaga di dekat rumah seorang mantan agen intelijen Rusia, Sergei Skripal yang diserang dengan zat agen saraf.
Foto: Andrew Matthews/PA via AP
Polisi Inggris berjaga di dekat rumah seorang mantan agen intelijen Rusia, Sergei Skripal yang diserang dengan zat agen saraf.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina menyoroti krisis diplomatik yang terjadi antara Rusia dengan beberapa negara Eropa, termasuk Amerika Serikat (AS) akibat kasus penyerangan Sergei Skripal. Beijing meminta negara-negara yang terlibat dalam perselisihan ini meninggalkan pemikiran era Perang Dingin.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying mengatakan, Cina mengawasi eskalasi perselisihan antara Rusia, Eropa, dan AS akibat kasus penyerangan Skripal. Kami telah mengawasi situasi itu. "Kami percaya bahwa kasus Skripal harus diselesaikan melalui pembicaraan berdasarkan fakta nyata," katanya pada Selasa (27/3), dikutip laman kantor berita Rusia TASS.

Hua Chunying menilai, dalam situasi ini masing-masing pihak harus mematuhi hukum internasional dan menahan diri dari tindakan paradoksikal. "Ada kebutuhan meninggalkan konfrontasi dan pemikiran era Perang Dingin," ujarnya.

Ia menegaskan Cina tidak memihak negara-negara yang terlibat perselisihan akibat kasus penyerangan Skripal. "Cina mendukung hubungan yang setara antara semua negara, berdasarkan prinsip saling menguntungkan," ucapnya.

Kasus penyerangan Sergei Skripal (66 tahun) dan putrinya Yulia (33) telah memicu krisis diplomatik Inggris dengan Rusia. Skripal merupakan warga Inggris yang pernah menjadi agen intelijen militer Rusia. Ia dan putrinya diserang menggunakan agen saraf kelas militer bernama Novichok pada 4 Maret lalu. Informasi terakhir, Skripal dan putrinya masih dalam keadaan kritis.

Inggris menuding Rusia menjadi dalang aksi penyerangan Skripal. Tuduhan ini didasarkan pada fakta agen saraf novichok pernah dikembangkan pada era Uni Soviet pada 1970-an. Rusia membantah tegas tudingan tersebut.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan negaranya tidak lagi memiliki senjata kimia. Semua senjata kimia milik Rusia, kata Putin, telah dihancurkan di bawah pengawasan organisasi internasional.

Ketika aksi saling tuding masih berlangsung, Perdana Menteri Inggris Theresa May, pada 15 Maret lalu, memutuskan mengusir 23 diplomat Rusia dari negaranya. May mengklaim 23 diplomat yang diusirnya merupakan agen mata-mata Rusia yang menyamar.

Rusia membalas hal tersebut dengan melakukan hal serupa. Kremlin mengusir 23 diplomat Inggris dan menghentikan seluruh kegiatan British Council di Rusia.

Kemudian pada Senin (26/3), Amerika Serikat (AS) memutuskan mengusir 60 diplomat Rusia dari negaranya dan memerintahkan penutupan konsulat Rusia di Seattle. Pengusiran ini dilakukan masih berkaitan dengan dugaan keterlibatan Rusia dalam aksi penyerangan Skripal.

Setidaknya14 negara anggota Uni Eropa juga telah mendukung Inggris. Dukungan diberikan dengan cara mengusir diplomat-diplomat Rusia yang diyakini sebagai agen mata-mata. Sekitar 45 diplomat Rusia terusir dari beberapa negara Eropa hingga saat ini.

Pemerintah Australia juga mengambil tindakan serupa. Mereka mengusir dua diplomat Rusia guna menunjukkan solidaritas kepada Inggris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement