REPUBLIKA.CO.ID, ADEN -- Perang saudara yang berkecamuk selama tiga tahun dan campur tangan militer bukan hanya menghancurkan prasarana di Yaman tapi juga membuat rakyat kurang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan hidup dibandingkan dengan kapan pun juga.
Banyak keluarga Yaman merasa lebih tak berdaya dan tak mampu menghadapi kemiskinan yang tersebar luas serta dan kesulitan yang diciptakan oleh konflik yang berkecamuk, yang meletus pada 2015.
Sangat banyak anak tak bisa menikmati pendidikan setelah kehilangan ayah, ibu dan saudara mereka, atau pencari nafkah di dalam kelurga selama konflik militer dalam negeri di Yaman. Mereka tak mempunyai pilihan selain keluar rumah dan mencari pekerjaan fisik untuk memperoleh uang dan membeli keperluan dasar.
Di Kota Aden di Yaman Selatan, tempat Pemerintah Yaman yang didukung masyarakat internasional berpusat, jumlah anak miskin yang kehilangan tempat tinggal dari provinsi lain di Yaman Utara bekerja dengan menjual pakaian dan barang bekas di jalan.
Obeid Ahmed, anak yang berusia 13 tahun, kelihatan kusam dan menyelamatkan diri dari Provinsi Taiz setelah kehilangan rumah mereka selama pengeboman oleh gerilyawan Syiah Al-Houthi bekerja demi kelangsungan hidup dengan berdiri di pinggir jalan dan berusaha keras untuk menjual bermacam barang dagangannya ke pengemudi mobil di Permukiman KhorMaksar di Aden.
"Gerilyawan Al-Houthi menyerbu Taiz dan bom mereka menghancurkan rumah kecil kami. Ayah saya, yang dulu menjadi guru, meninggal bersama dengan kakak saya dalam pemboman. Sekarang, saya berusaha bekerja dengan menjual apa saja di jalan," kata Ahmed. Ia menyalahkan organisasi lokal dan internasional karena tidak berbuat banyak untuk membantu dia.
Rashad Mustafa, yang berasal dari Provinsi Al-Bayda di Yaman Tengah dan mengungsi ke Adem, menjual permen karet serta membersihkan kaca mobil, mengatakan ia nyaris tak mempunyai uang untuk membeli obat buat ibunya, yang cedera.
"Saya harus bekerja keras meskipun udara panas di Aden untuk memperoleh uang. Ibu saya memerlukan obat sebab ia cedera akibat ledakan bom pinggir jalan," kata Rashad, yang berharap bisa kembali ke desanya dan bertemu dengan teman-temannya.
"Hidup jadi lebih sulit dan tiga tahun penderitaan cukup sebab kami tak mampu memikul lebih banyak lagi. Kami kalah dan tak memiliki masa depan. Cukup sudah perang ... Cukup sudah kerusakan," tambah Rashad.
Banyak keluarga miskin menyelamatkan diri dari daerah yang dilanda perang ke provinsi yang dikuasai pemerintah dan tak menerima cukup dukungan kemanusiaan dari berbagai organisasi, kata seorang pejabat kemanusiaan yang tak ingin disebutkan jatidirinya.
"Kebanyakan rakyat Yaman melewati kondisi kemanusiaan yang berat dan satu-satunya penyelesaian bagi bencana ini ialah diakhirinya perang. Bantuan kemanusiaan tidak cukup," kata pejabat itu.
Setelah tiga tahun konflik dan penghancuran, banyak pengamat mengatakan kelompok yang bertikai di Yaman masih berkeras mengenai penyelesaian krisis di negeri tersebut dengan menggunakan kekuatan, tanpa penyelesaian politik yang membayang.
Negara Arab yang miskin tersebut telah dicengkeram perang saudara selama tiga tahun setelah gerilyawan Syiah yang didukung Yaman menguasai sebagian besar wilayah secara militer dan merebut semua provinsi Yaman Utara termasuk Ibu Kota Yaman, Sana'a, pada penghujung 2014.
Arab Saudi telah memimpin koalisi militer Arab sejak Maret 2015 untuk mendukung Pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, setelah gerilyawan Al-Houthi memaksa dia hidup di pengasingan.
Perang di Yaman telah menewaskan lebih dari 10.000 warga, separuh dari mereka warga sipil, dan membuat lebih dari tiga juta orang lagi mengungsi, kata lembaga kemanusiaan PBB.
Perang yang berkecamuk telah membentur kebuntuan, menciptakan krisis kemanusiaan terbesar di dunia dan mendorong negeri tersebut ke ambang kelaparan, sementara sebanyak 385.000 anak menderita gizi buruk akut, sehingga mereka terancam kolera dan diare akut.