REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi meluncurkan rencana mengubah produksi tenaga surya, sejalan dengan strategi Visi 2030. Selama ini, Arab Saudi berkomitmen mendiversifikasi ekonomi negara dan mengakhiri ketergantungannya pada minyak.
Dilansir di Arab News pada Sabtu (31/3), Kerajaan mengharapkan produksi 200 gigawatt tenaga surya melalui Rencana Proyek Tenaga Matahari 2030. Pada peluncuran rencana tersebut, para ahli mengatakan proyek itu mengubah Kerajaan Arab Saudi menjadi pengekspor energi berkelanjutan. Berkat sumber daya alam dan industri ramah lingkungan yang mengandalkan matahari, angin, dan pasir yang kaya silika.
Menurut Badan Energi Internasional, tenaga surya akan menjadi sumber energi terbesar di dunia pada 2050. Prakarsa surya Saudi akan membantu diversifikasi ekonomi nasional dan merangsang investasi di industri non-minyak. Proyek ini juga akan mengurangi biaya produksi tenaga surya dan menciptakan peluang kerja bagi 100 ribu pekerja Arab Saudi.
Universitas King Saud di Riyadh bergabung dengan proyek penelitian pemantauan perubahan matahari dan pengaruhnya di bumi dengan Jepang dan Peru. Sejarah penelitian matahari pernah dilakukan 38 tahun lalu. Tepatnya saat Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud membuka pabrik penelitian di King Abdul Aziz City, pabrik tenaga surya pertama di Kerajaan.
Pabrik itu menyediakan listrik tenaga surya ke Uyayna, Jubaila, dan pusat-pusat pedesaan dekat Riyadh. Desa surya, bagian dari kemitraan Saudi-Amerika Serikat menghasilkan 350 kilowatt listrik melalui kompleks fotovoltaik terkonsentrasi.
Putra Mahkota Mohammed bin Salman menggariskan transformasi Arab Saudi ke dalam era Kerajaan Energi Berkelanjutan dalam waktu lima bulan. Pada Oktober 2017, Riyadh menjadi tuan rumah awal pengembangan strategi (Rencana Solar 2030) dengan partisipasi dari Dana Investasi Publik dan Dana Visi Softbank.
Pada 28 Maret, selama kunjungan pertamanya ke AS, putra mahkota itu menandatangani nota kesepahaman dengan Softbank Vision Fund untuk membuat pabrik proyek tersebut.Targetnya, pabrik selesai dan siap produksi energi surya pada awal 2019.
Presiden King Abdul Aziz City untuk Sains dan Teknologi, Pangeran Turki bin Saud bin Mohammed menjelaskan kebutuhan energi Arab Saudi sebesar 75 gigawatt. Ia beranggapan Rencana Proyek Tenaga Matahari 2030 memungkinkan Kerajaan mengekspor kelebihan listrik dari hasil produksi. Dengan demikian, proyek itu mampu menyediakan energi alternatif untuk minyak Kerajaan.