Ahad 01 Apr 2018 17:45 WIB

Pengungsi Libya Bertahan di Gurun Pasir

Upaya pengungsi untuk pulang selalu dihalang-halangi oleh kelompok bersenjata.

Pekerja asing di Libya mengantri makanan di kamp pengungsian di perbatasan dengan Tunisia, Selasa (8/3).
Foto: AP
Pekerja asing di Libya mengantri makanan di kamp pengungsian di perbatasan dengan Tunisia, Selasa (8/3).

REPUBLIKA.CO.ID, MISRATA - Ular dan kalajengking mengintai di antara semak belukar di gurun Garart al-Gatef. Terkadang, angin besar siap membentuk badai pasir. Namun, ratusan pengungsi Libya yang terdampar di gurun tersebut tetap bertahan.

Mereka berharap bisa kembali ke kota-kota tempat tinggal mereka yang telah dikosongkan setelah revolusi Libya 2011. Para pengungsi itu bersumpah akan tetap tinggal di gurun sampai mereka diizinkan pulang.

Kamp pengungsian sementara yang terdiri dari 250 tenda kembali bermunculan pada awal Februari lalu di gurun itu. Sebelumnya, kelompok-kelompok bersenjata dari Kota Misrata telah memblokir konvoi para pengungsi yang mencoba mendekati Kota Tawergha, kota berpenduduk sekitar 40 ribu orang yang saat ini masih berupa reruntuhan.

Pemblokiran ini mengagalkan upaya rekonsiliasi untuk menyelesaikan perpecahan politik dan komunal yang muncul selama dan setelah pemberontakan Libya.

Lebih dari enam tahun yang lalu, kelompok bersenjata dari Misrata menargetkan warga Tawergha karena menuduh mereka mendukung pengepungan yang dilakukan oleh Moammad Gaddaffi. Pengepungan itu kemudian gagal menghalau pemberontakan warga Libya yang didukung NATO, yang kemudian menggulingkan pemerintahan Gaddafi.

Penduduk Tawergha, yang sebagian besar adalah keturunan budak sub-Sahara Afrika yang berkulit gelap, terpaksa mengungsi dan tersebar di kamp-kamp kotor di seluruh Libya.

Setelah negosiasi panjang, mereka diberi tahu oleh pemerintah Libya bahwa mereka dapat mulai berpindah kembali ke Tawergha pada 1 Februari. Mustafa Ghrema, anggota dewan kota yang tinggal di Garart al-Gatef mengatakan, para pejabat setempat bahkan telah memesan 3.000 porsi makanan dan satu panggung untuk upacara penyambutan di Tawergha.

Menurut Ghrema, upaya para pengungsi untuk kembali ke Tawergha selalu dihalang-halangi oleh kelompok bersenjata. Beberapa di antaranya sampai melepaskan tembakan.

"Milisi yang menembak kami tidak sama dengan kelompok pertama, yang kelihatannya adalah pasukan militer terorganisir. Mereka berbicara kepada kami dengan hormat dan mengatakan kepada kami bahwa ini adalah sebuah masalah dan kami bisa terkena bahaya," kata dia.

"Sementara para milisi itu menggunakan kata-kata rasis, pelecehan, dan kebencian, dan menembaki kami," ungkapnya. Hampir 200 keluarga pengungsi mendirikan tenda di Garart al-Gatef, yang terletak sekitar 27 km dari Tawergha.

Lembaga bantuan lokal dan internasional telah memberikan bantuan makanan, air dan medis di Garart al-Gatef. Namun, salah satu pengungsi, Ghazala Awad (41), mengatakan kondisi di gurun sangatlah sulit.

"Anda bisa melihat sendiri. Sulit untuk menggambarkan apa yang terjadi saat debu ada di mata Anda. Kadang-kadang kita bahkan tidak bisa mendengar dan ini tidak ada bedanya dengan saat kita menggunakan syal," jelas Awad.

Tawergha yang terletak sekitar 200 km dari Tripoli, adalah kota menakutkan yang penuh dengan reruntuhan bangunan yang dibom dan ditinggalkan oleh penduduknya. AS menyimpulkan, kota itu sengaja dihancurkan pada 2011 agar tidak bisa dihuni, dan milisi Misrata diduga telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di kota itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement