REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Rumah sakit di Gaza sedang berjuang untuk merawat ratusan warga Palestina yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel di sepanjang perbatasan Gaza-Israel. Dokter rumah sakit mengaku kehabisan obat dan persediaan lainnya untuk mengobati pasien.
Informasi tersebut disampaikan Hoda Abdel-Hamid, kontributor Aljazirah yang melaporkan langsung dari Gaza. Menurutnya, sebagian besar korban terluka oleh amunisi hidup.
Pada Senin (2/4), juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan seorang pria Palestina telah meninggal dunia karena luka tembak yang dideritanya selama melakukan protes di Jalur Gaza. Faris al-Regeb (29 tahun) dilaporkan ditembak di perut oleh tentara Israel dan menjadi korban ke-18 yang tewas dalam aksi protes itu.
Penggunaan kekuatan mematikan oleh tentara Israel telah memicu kecaman internasional. PBB dan sejumlah kelompok HAM telah menyerukan penyelidikan independen terhadap aksi itu. Namun, Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengatakan tidak ada alasan bagi Israel untuk bekerja sama dengan PBB untuk menyelidiki tindakan militernya.
Beberapa rekaman video menunjukkan, warga Palestina ditembak oleh pasukan Israel meski mereka tidak melakukan gerakan yang dapat menimbulkan ancaman langsung. Ratusan lainnya juga terluka oleh tembakan.
Aksi Great March of Return yang dilakukan pada Jumat (30/4), adalah bagian dari serangkaian protes selama enam pekan. Protes itu bertujuan untuk menuntut hak para pengungsi Palestina untuk pulang ke tanah mereka yang telah direbut Israel.
Unjuk rasa akan berakhir pada 15 Mei mendatang, tepat di peringatan hari Nakba atau yang dikenal dengan hari malapetaka. Hari itu menandai perpindahan ratusan ribu warga Palestina dalam konflik yang mengiringi penciptaan Israel pada 1948.
Baca juga: Pemimpin Hamas Desak Liga Arab Tuntut Israel