REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Selasa (3/4), menyatakan kesediaan membuka kembali perundingan perdamaian dengan pemberontak Mao. Kesiapan itu diungkapkan Duterte empat bulan setelah perundingan dihentikan dan ia menyatakan berupaya memperlakukan kelompok komunis itu sebagai 'teroris'.
Kementerian kehakiman pada Februari meminta pengadilan daerah menyatakan Partai Komunis Filipina (CPP) beserta sayap bersenjatanya, Tentara Rakyat Baru (NPA), sebagai kelompok 'teroris', yang diupayakan Duterte untuk dimusnahkan. Ketika mulai menjabat sebagai presiden pada Juli 2016, Duterte membebaskan beberapa pemimpin Maois dan menunjuk tokoh kiri menduduki jabatan di kabinet guna menarik mereka ke meja perundingan.
Namun, upaya perdamaian itu ditinggalkan pada November di tengah kemarahan Duterte atas yang disebutnya serangan berulang oleh gerilyawan tersebut selama perundingan. "Kita bukan musuh," kata Duterte, Selasa, ketika menyampaikan pidato di depan para petempur NPA di Oriental Mindoro.
Di provinsi wilayah tengah itu, yang juga merupakan benteng pemberontak, Duterte menghadiri peresmian proyek jembatan. "Kalau kita tidak bisa mendapatkan jalan tengah, saya tidak akan menutup segala sesuatunya," kata Duterte.
Ia mengumpamakan ketidaksepahaman antara pemerintahannya dan para pemberontak seperti pertengkaran sebuah pasangan, yang pada akhirnya akan selesai. Upaya mengakhiri perang itu, yang telah berlangsung hampir setengah abad dengan kalangan komunis, adalah salah satu prioritas Duterte ketika mulai menjabat presiden. Perang itu telah menewaskan lebih dari 40 ribu orang.
Pelaksanaan rangkaian perundingan untuk mengakhiri pemberontakan selama ini berlangsung tidak konsisten sejak perundingan ditengahi oleh Norwegia pada 1986. "Mari kita sepakati beberapa hal mendasar," kata Duterte.
Ia menambahkan bahwa dirinya siap mengeluarkan dana untuk "memberikan subsidi" bagi kalangan pemberontak. Namun, sebelum memulai kembali perundingan, Duterte mengatakan bahwa pemberontak itu harus setuju melakukan gencatan senjata, menghentikan pemerasan serta meninggalkan keinginan mereka membentuk "pemerintahan koalisi".