REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- Menteri Luar Negeri Maroko Nasser Bourita menuduh Front Polisario, sebuah gerakan separatis kemerdekaan Sahara Barat, telah melanggar kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi PBB. Bourita mengatakan pasukan Front Polisario telah membangun pos-pos militer di kota Mahala, Sahara Barat.
Hal tersebut dianggap melanggar perjanjian militer yang telah menetapkan zona penyangga di wilayah yang dikendalikan oleh kedua belah pihak. "Maroko mengatakan dengan sangat jelas bahwa semua opsi sedang dipertimbangkan," kata Bourita kepada wartawan setelah mengadakan pembicaraan dengan Sekjen PBB Antonio Guterres pada Rabu (4/4), seperti dilaporkan laman Deutsche Welle.
"Maroko tidak akan mengizinkan adanya perubahan aksi di lapangan. Jika PBB, komunitas internasional, tidak mengambil tanggung jawab mereka, Maroko akan mengambil tanggung jawabnya sendiri," ujarnya.
Bourita mengatakan dia telah berbagi fakta dan bukti dengan Guterres, termasuk foto-foto satelit yang diambil bulan lalu, yang konon memperlihatkan konstruksi militer Front Polisario di zona penyangga. Maroko telah mengancam akan melakukan tindakan sepihak atas serbuan yang diduga dilakukan Front Polisario di Sahara Barat
Gerakan separatis Front Polisario membantah tuduhan Maroko. Sementara misi PBB di wilayah itu mengatakan mereka tidak mengamati adanya gerakan elemen militer Front Polisario di wilayah timur laut.
Perwakilan PBB untuk Front Polisario, Ahmed Boukhari, membantah tuduhan tersebut dalam sepucuk surat kepada Dewan Keamanan PBB pada awal pekan ini. Ia menambahkan, pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah itu tidak melaporkan adanya pelanggaran gencatan senjata oleh kelompok separatis tersebut.
Namun, pada Selasa (3/4), kantor berita APS di Aljazair menerbitkan pernyataan yang dikeluarkan oleh Front Polisario yang melaporkan Boukhari telah meninggal dunia. Ia meninggal di Spanyol pada usia 64 tahun setelah berjuang lama dengan penyakit yang dideritanya.
Pasukan penjaga perdamaian Minuroso telah ditempatkan di Sahara Barat pada 1991, sejak PBB l menengahi kesepakatan damai antara Maroko dan Front Polisario. Maroko mencaplok Sahara Barat, bekas koloni Spanyol pada 1975, tetapi Front Polisario bertempur dalam perang gerilya untuk mengupayakan kemerdekaan bagi rakyat Sahrawi.
Kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi PBB pada 1991 berhasil menghentikan pertempuran itu. PBB kemudian membentuk misi pemeliharaan perdamaian di kawasan itu, yang dikenal sebagai MINURSO.
Maroko menganggap Sahara Barat yang kaya mineral sebagai bagian integral dari negara mereka dan telah mengusulkan akan memberikan wilayah otonomi luas. Front Polisario bersikeras untuk menyelenggarakan referendum penentuan nasib sendiri, yang akan dilakukan oleh 350 ribu dan 500 ribu penduduk di wilayah itu.
Ketegangan antara kedua belah pihak meningkat pada 2016, ketika pasukan Maroko melawan brigade pasukan front Polisario di daerah terpencil Guerguerat dekat perbatasan dengan Mauritania. Kedua pihak menarik pasukan mereka tahun lalu. Meskipun hanya sedikit mendapat kemajuan dalam mengupayakan kemerdekaan di Sahara Barat, Front Polisario dan para pengikutnya tetap aktif di wilayah tersebut.