REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Australia pada Selasa (3/4) memulai penyelidikan tentang dugaan pelanggaran undang-undang privasi oleh raksasa media gaul Facebook setelah perusahaan tersebut memastikan kabar kebocoran data pribadi milik 300 ribu pengguna di Australia. Informasi pribadi milik 87 juta pengguna Facebook, yang sebagian besar berada di Amerika Serikat, diduga disalahgunakan oleh perusahaan konsultan politik Cambridge Analytica, menurut Facebook pada Rabu (4/4).
Jumlah tersebut melebihi perkiraan sebelumnya dari media, yang "hanya" sekitar 50 juta orang. Dalam pernyataan tertulis, komisioner Australia untuk urusan privasi warga, Angelene Falk, menyatakan akan bekerja sama dengan pejabat pengatur dari luar negeri karena keadaan dunia terkait persoalan itu.
Sementara itu, juru bicara Facebook di Australia mengatakan bahwa perusahaannya akan bekerja sama penuh terhadap penyelidikan oleh pemerintah. Baru-baru ini mereka telah membarui pengatuhan kerahasiaan akun pengguna. Kepala pelaksana Facebook, Mark Zuckerberg, kepada para wartawan mengatakan bahwa dia mengaku bersalah terkait bocornya data pengguna.
Zuckerberg sudah dijadwalkan untuk bersaksi mengenai masalah tersebut pada pekan depan dalam dua rapat dengar pendapat Kongres Amerika Serikat. Selain itu, kebocoran data juga memicu kritik keras dari para anggota parlemen negara-negara dunia.
Cambridge Analytica, konsultan politik yang berkedudukan di London, dan sempat melayani kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada pemilu tahun 2016, membantah pernyataan Fecebook terkait jumlah data pengguna yang bocor. Pada Rabu, mereka mengaku hanya menerima tidak lebih dari 30 juta data pengguna dari seorang peneliti yang mereka pekerjakan untuk mengumpulkan data pribadi para pengguna Facebook.
Sebelum Australia mengumumkan investigas ini, komisioner urusan privasi dari Selandia Baru pada pekan lalu mengatakan bahwa Facebook telah melanggar sejumlah undang-undang di negara tersebut. Pengatur antimonopoli Australia menyelidiki kemungkian Facebook dan Google merusak media pemberitaan sehingga merugikan lembaga penyiaran dan konsumen.