REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan Filipina bersedia menerima pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari tindakan genosida di Myanmar. Meskipun demikian menurut Duterte, Eropa juga harus membantu dalam proses ini.
Dilansir ABC CBN, Jumat (6/4), dalam pidatonya kepada para petani dan pejabat pertanian di istana kepresidenan, Duterte menyinggung berbagai masalah. Termasuk keputusannya untuk menarik diri dari Pengadilan Pidana Internasional atas keputusannya untuk membuka penyelidikan awal dalam perang pemerintah terhadap narkoba. Dalam pidato ini, Duterte juga menyampaikan kemarahannya terhadap pejabat Myanmar.
"Aku benar-benar mengasihani Rohingya di sana. Aku bersedia menerima pengungsi Rohingya. Aku akan membantu tetapi kita harus membaginya dengan Eropa," kata Duterte.
Duterte juga menyinggung ketidakmampuan masyarakat internasional dalam menyelesaikan masalah di Myanmar. "Mereka bahkan tidak bisa memecahkan masalah Rohingya. Itulah genosida, jika boleh saya katakan demikian," kata Duterte.
Myanmar telah menolak tuduhan melakukan genosida terhadap Rohingya. Juru bicara pemerintahan Myanmar, Zaw Htay, mengatakan komentar Duterte tidak mencerminkan situasi sebenarnya di Myanmar.
"Dia tidak tahu apa-apa tentang Myanmar. Perilaku yang biasa dari orang itu adalah berbicara tanpa disaring terlebih dahulu. Itu sebabnya dia mengatakan itu," kata Zaw Htay kepada Reuters.
Komentar Duterte disiarkan langsung di televisi. Pernyataannya tersebut kemudian dikeluarkan dalam bentuk siaran pers oleh kantornya. Pernyataan Duterte ini jarang terjadi oleh seorang pemimpin Asia Tenggara.
Filipina dan Myanmar adalah anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Kedua negara telah lama menjalin konvensi dan menahan kritik terhadap sesama anggota.
Duterte tidak menyebut nama pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, yang telah banyak dikritik karena gagal membela Rohingya. "Wanita itu, dia adalah temanku," kata Duterte. PBB dan kelompok-kelompok hak asasi mengatakan sekitar 700 ribu Rohingya, telah melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak Agustus tahun lalu.
PBB dan beberapa negara Barat mengatakan tindakan Myanmar merupakan pembersihan etnis. Tetapi Myanmar menolak tuduhan itu. Myanmar mengatakan pasukan keamanannya telah melakukan operasi yang sah terhadap teroris.