REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Perseteruan antara Telegram dan pemerintah Rusia memasuki babak baru pekan ini. Regulator komunikasi Roskomnadzor mulai mendaftarkan gugatan hukum agar akses Telegram di Rusia dibatasi.
Sebagai bagian dari upaya penanganan antiterorisme, agen Rusia seperti Federal Security Service (FSB) meminta kepada Telegram agar diizinkan mengakses layanan perpesanan terenkripsi. Permintaan ini bertujuan agar FSB bisa memantau percakapan dan data para pengguna.
Tahun lalu FSB meminta Telegram agar membagikan kunci-kunci enkripsinya namun perusahaan menolak. Akibatnya aplikasi yang diciptakan Pavel Durov itu harus membayar denda sebesar 14 ribu dolar AS. Bulan lalu, hakim Pengadilan Tinggi Alla Nazarova menolak sikap keberatan Telegram dan denda itu tetap wajib dibayar.
Dilansir dari Techspot Jumat (6/4), batas waktu Telegram untuk mengabulkan permohonan Roskomnadzor berakhir pada 4 April lalu. Telegram menolak membagikan kunci enkripsi para pengguna karena dinilai melanggar privasi. BBC menyebut layanan enkripsi yang didesain Telegram membuat perusahaan itu juga tidak dapat mengakses percakapan para pengguna.
Isi gugatan yang dilayangkan Roskomnadzor di pengadilan Moskow mencantumkan permintaan agar akses Telegram terhadap sumber informasi dan kerja sama dibatasi di Rusia. Menanggapi hal ini, Pavel Shikov selaku pengacara Telegram mengkritik gugatan hukum sebagai hal yang tidak berdasar.
"Permintaan FSB untuk menyediakan akses percakapan para pengguna sungguh melanggar konsitusi dan tidak punya landasan fakta yang kuat. Secara hukum permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi," ungkap Shikov.
Telegram adalah aplikasi perpesanan terpopuler kesembilan di dunia. Dengan 200 juta pengguna aktif, Telegram menonjolkan layanan enkripsi percakapan yang hampir tidak mungkin disadap. Selain di Rusia, Telegram juga sangat populer di Timur Tengah.