REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 30 warga sipil Suriah kembali tewas akibat serangan udara di Ghouta Timur, pada Jumat (6/4). Kantor berita Sana melaporkan, serangan itu merupakan balasan atas penembakan yang dilakukan oleh pemberontak Jaysh al-Islam, yang mengontrol Douma.
Warga yang menjadi korban adalah warga yang sedang mengikuti proses evakuasi ke Suriah utara, seperti Provinsi Idlib. Pemerintah Suriah kemudian memutuskan untuk menangguhkan perjanjian evakuasi dengan Jaysh al-Islam.
Redaktur kantor berita Anadolu, Muhammad Pizaro, mengatakan serangan udara semacam itu telah menjadi fenomena yang terjadi setiap saat di wilayah Ghouta timur. Pengamatan di medan pertempuran, kata dia, menunjukkan banyak warga Suriah yang merasa semakin putus asa.
Komisioner UNHCR Zeid Raad al- Hussein mengaku tak tahu harus berkomentar apa mengenai konflik Suriah. "Ketika [komisioner] UNHCR ke Indonesia, saya bertanya bagaimana pandangan PBB mengenai konflik di Suriah yang sudah berlangsung lama. Dia [Zeid] bilang, saya tidak bisa berkata apa apa," kata Pizaro, dalam acara diskusi bertajuk 'Tujuh Tahun Konflik Suriah: Antara Realita dan Propaganda' di Jakarta, Sabtu (7/4).
Memburuknya konflik di negara tersebut membuat warga Suriah berharap banyak terhadap bantuan Indonesia. Ia mengisahkan kunjungannya ke Suriah pada 2014 dan mengatakan banyak warga di sana yang menyebut nama Indonesia di dalam doa-doa mereka.
"Dia mengatakan Indonesia dan kami adalah bersaudara. Mereka berdoa menyebut nama Indonesia karena tidak mau Indonesia merasakan hal yang sama. Mereka meminta doa karena kita bersaudara," ungkapnya.
Baca juga, Trump Minta Arab Saudi Bayar Militer AS di Suriah.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin mengatakan organisasi kemanusiaan yang dikelolanya masih membutuhkan dana sebesar Rp 2 triliun dari banyak donatur untuk membantu Suriah.
ACT yang fokus pada bantuan pangan kini telah memiliki 400 dapur umum di seluruh Suriah dengan biaya per bulannya sebesar 600 ribu dolar AS. Tak hanya itu, ACT juga telah membangun Indonesia Humanitarian Center (IHC) di Reyhanli kota perbatasan Turki dan Suriah, tepatnya di Provinsi Hatay.
Layanan logistik ini bertugas untuk memberikan bantuan pangan kepada pengungsi Suriah yang ada di dalam negeri, ataupun yang ada di Turki."Di dalam, kami bekerja sama dengan mitra lokal dan mitra Turki. Ini menakjubkan bagaimana konflik Suriah telah membuat berapa ratus lembaga lahir," jelasnya.
Staf keanggotaan ACT di Istanbul, Firdaus Guritno, yang melaporkan langsung dari Reyhanli, mengatakan 50 persen dari penduduk kota itu adalah pengungsi asal Suriah. Di sini, Indonesia membuka gudang IHC yang menampung 100 ton bahan makanan, yang terdiri dari 1.500 jenis.
"Dari 1.500 item itu kami membungkusnya menjadi 5.000 paket pangan. Tidak hanya disalurkan di perbatasan, tetapi juga kepada pengungsi di dalam Suriah," ujar Firdaus.
Dekat dengan gudang IHC, Indonesia memiliki pabrik roti yang menjadi proyek penunjang dari distribusi paket makanan. Setiap hari pabrik ini memproduksi 16.800 helai roti, yang dimasukkan ke dalam 2.400 paket makanan untuk 2.400 kepala keluarga.
Lebih lanjut, Firdaus menjelaskan IHC tidak hanya memberikan bantuan pangan, tetapi juga memiliki program pemberdayaan pengungsi Suriah. Dengan demikian, Indonesia turut memberi kesempatan warga Suriah untuk bekerja.