Rabu 11 Apr 2018 12:48 WIB

Resolusi AS dan Rusia untuk Suriah Gagal Lolos di DK PBB

Rusia dan AS berbeda pendapat dalam pemungutan suara.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Dewan Keamanan PBB
Foto: ENCYCLOPEDIA BRITANNICA BLOG
Dewan Keamanan PBB

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Rancangan atau draf resolusi tentang pembentukan badan ahli untuk menyelidiki dugaan pemakaian senjata kimia di Suriah yang disusun Rusia dan Amerika Serikat (AS) gagal lolos di Dewan Keamanan PBB pada Selasa (10/4). Dalam proses pemungutan suara, perwakilan Rusia dan AS terlibat pertikaian pendapat.

AS mengajukan draf resolusi tentang mekanisme penyelidikan dugaan penggunaan senjata kimia di negara yang dilanda perang. Dalam teks resolusinya, AS menyatakan mekanisme tersebut akan memberikan wewenang kepada badan penyelidik untuk menetapkan pihak mana yang bersalah atau bertanggung jawab atas terjadinya serangan senjata kimia.

Sebanyak 12 negara anggota Dewan Keamanan PBB mendukung draf resolusi yang disusun AS. Sementara Rusia dan Bolivia menentang draf tersebut. Sedangkan, Cina memilih abstain.

Rusia menilai draf yang disusun AS akan mengarah kepada bias, yakni menempatkan rezim Presiden Bashar al-Assad sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dugaan terjadinya serangan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, pekan lalu. Menurut Rusia, hal itu tentu meremehkan posisi Assad yang dipilih secara demokratis.

Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan draf yang diajukan AS merupakan upaya minimal yang dapat dilakukan Dewan Keamanan PBB dalam merespons terjadinya dugaan serangan senjata kimia di Suriah. "Ini adalah minimal yang dapat dilakukan Dewan untuk menanggapi serangan itu," katanya, dikutip laman Aljazirah.

Namun pernyataan Haley segera dikritik oleh Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia. "Mengapa Anda membutuhkan mekanisme ini ketika Anda sudah menunjuk pihak yang bersalah sebelum penyelidikan?" ujarnya.

Rusia tercatat telah menggunakan sebanyak 12 kali hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk menghalau tindakan terhadap rezim Assad. Rusia memang telah menjadi sekutu utama Presiden Assad dalam beberapa tahun terakhir.

Setelah menolak draf resolusi AS, Rusia menawarkan draf resolusi yang disusunnya. Dalam draf tersebut, Rusia juga menyatakan tentang perlunya pembentukan badan ahli guna menyelidiki dugaan penggunaan senjata kimia di Douma.

Namun anggota badan tersebut harus dipilih oleh Rusia. Selain itu, badan terkait juga tidak memiliki wewenang untuk menyalahkan atau mengidentifikasi pelaku. Mereka hanya diwajibkan menyelidiki dan menyampaikan hasil laporannya ke Dewan Keamanan PBB. Selanjutnya Dewan Keamanan yang akan menentukan tindakan apa yang perlu diambil.

Draf resolusi Rusia tersebut meraih dukungan dari enam negara anggota. Namun AS dan Inggris menolaknya. Pertimbangan penolakan adalah karena proses penyelidikan dinilai tidak akan independen. Hal itu karena para anggotanya ditunjuk atau ditentukan sendiri oleh Rusia yang saat ini menjadi sekutu Presiden Assad.

Dengan aksi penolakan yang dilakukan Rusia dan AS, draf resolusi keduanya untuk membentuk badan guna menyelidiki dugaan serangan senjata kimia di Suriah gagal lolos. Sebab untuk lolos, sebuah resolusi membutuhkan dukungan sembilan negara anggota tanpa diveto oleh lima anggota tetap, yakni Rusia, AS, Prancis, Inggris, dan Cina.

Pekan lalu serangan gas beracun terjadi di Douma, Ghouta Timur, Suriah. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 50 orang. Pemerintah Suriah dituding bertanggung jawab atas terjadinya serangan tersebut. Namun tuduhan itu telah dibantah tegas, termasuk oleh sekutunya Rusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement