Rabu 11 Apr 2018 13:19 WIB

Rusia Minta AS tak Menyerang Suriah

Trump ingin mengambil tindakan militer terhadap Suriah.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Petugas Pertahanan Sipil Suriah memadamkan api di sebuah toko yang terbakar karena serangan udara pasukan Suriah dan gerilyawan di Ghouta, pinggiran Damaskus, Selasa (20/2).
Foto: Syrian Civil Defense White Helmets via AP
Petugas Pertahanan Sipil Suriah memadamkan api di sebuah toko yang terbakar karena serangan udara pasukan Suriah dan gerilyawan di Ghouta, pinggiran Damaskus, Selasa (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Rusia telah mendesak Amerika Serikat (AS) untuk menahan diri agar tidak melakukan tindakan militer sebagai tanggapan atas dugaan terjadinya serangan kimia di Suriah. Moskow memperingatkan Washington, mereka akan bertanggung jawab atas setiap tindakan militer ilegal yang dilakukannya di negara tersebut.

"Saya akan sekali lagi memohon Anda untuk menahan diri dari rencana yang sedang Anda pertimbangkan," kata Duta Besar Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzia, Selasa (10/4), seperti dilaporkan laman BBC.

Di sisi lain, para pemimpin Barat mengatakan mereka telah setuju untuk bekerja sama menargetkan pihak yang bertanggung jawab atas serangan kimia di Douma. Presiden Perancis Emmanuel Macron menuturkan serangan Barat akan menargetkan fasilitas senjata kimia pemerintah Suriah.

AS telah menyerukan resolusi di Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk melakukan penyelidikan independen atas klaim bahwa rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad telah melakukan serangan kimia di Kota Douma yang dikuasai pemberontak di wilayah Ghouta Timur. Namun resolusi tersebut diveto oleh Rusia, sementara Cina memilih abstain.

Suriah, yang menerima dukungan militer dari Rusia, menyangkal berada di balik serangan kimia itu. Sebuah tim dari Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) akan segera menyebar ke Suriah untuk menentukan apakah ada senjata kimia terlarang yang telah digunakan di Douma.

Nebenzia menuduh AS mengusulkan resolusi itu sebagai dalih untuk membenarkan tindakan militer mereka di Suriah. "Kita bisa menemukan diri kita berada diambang beberapa peristiwa yang sangat menyedihkan dan serius," kata dia.

Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley menanggapi komentar Nebenzia dengan menyebutnya sebagai parodi. "Rusia telah menghancurkan kredibilitas Dewan Keamanan PBB," ungkapnya.

Presiden AS Donald Trump berjanji menanggapi serangan kimia di Douma dan telah berbicara tentang sejumlah tindakan militer. Dia membatalkan perjalanan resmi pertamanya ke Amerika Latin untuk fokus pada Suriah. Menteri Pertahanannya, James Mattis, juga membatalkan rencana perjalanan serupa.

Keputusan Trump untuk membatalkan perjalanan ke Amerika Latin menunjukkan AS mungkin akan melakukan tindakan militer yang lebih besar ke Suriah. April lalu, setelah terjadi serangan agen saraf Sarin yang menewaskan lebih dari 80 orang di Khan Sheikhoun yang dikuasai oposisi Suriah, Trump memerintahkan penembakan puluhan rudal jelajah ke pangkalan udara pemerintah Suriah dari kapal Angkatan Laut AS di Mediterania.

Aktivis oposisi Suriah, pekerja kemanusiaan, dan petugas medis menuduh bom yang berisi bahan kimia beracun telah dijatuhkan di Douma, di wilayah Ghouta Timur, dekat ibu kota Damaskus, oleh pasukan pemerintah Suriah. Syrian-American Medical Society mengatakan lebih dari 500 orang telah dibawa ke pusat-pusat medis dengan gejala yang menunjukkan paparan agen kimia.

Para korban mengalami kesulitan bernapas, kulit kebiruan, mulut berbusa, luka bakar di kornea, dan tercium bau seperti klorin. Korban tewas dalam serangan kimia ini diduga berkisar dari 42 hingga lebih dari 60 orang.

Kelompok-kelompok medis mengatakan jumlahnya bisa meningkat. Petugas penyelamat telah mendapatkan akses ke ruang bawah tanah, tempat ratusan keluarga mencari perlindungan dari pemboman.

Perwakilan Prancis di DK PBB mengatakan gas beracun sengaja digunakan karena bisa merembes ke ruang bawah tanah. Setelah serangan terjadi, Suriah dan Rusia mencapai kesepakatan evakuasi dengan pemberontak Jaish al-Islam, yang hingga kini menguasai Douma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement