REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Rabu (11/4) sekitar 500 warga Douma telah dirawat karena diduga terindikasi gas beracun. Menurut WHO para pasien ini memiliki tanda dan gejala yang konsisten dengan paparan gas beracun.
Warga Douma mengalami gejala ini setelah serangan gas beracun yang diduga dilakukan oleh pemerintah Suriah di daerah kantong pemberontak Douma pada akhir pekan lalu.
"Secara khusus, ada tanda-tanda iritasi parah pada selaput lendir, kegagalan pernafasan dan gangguan pada sistem saraf pusat dari orang-orang yang terpapar," kata WHO dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan di Jenewa.
Dilansir The Guardian, Rabu (11/4), Wakil Direktur Jenderal WHO untuk kesiapsiagaan dan tanggap darurat Peter Salama mengatakan WHO menuntut akses dengan segera dan tanpa hambatan ke wilayah tersebut. Ini untuk memberikan perawatan bagi mereka yang terkena dampak dan menyampaikan respon kesehatan masyarakat yang komprehensif.
Badan-badan bantuan PBB tidak memiliki akses ke sebagian besar daerah kantong Ghouta timur, termasuk Douma.
WHO mengaku telah melatih lebih dari 800 pekerja kesehatan Suriah untuk mengenali gejala dan mengobati pasien karena paparan senjata kimia. Lembaga PBB juga telah mendistribusikan obat penawar untuk agen saraf, termasuk di Douma yang terkepung tahun lalu.
WHO juga mengatakan bahwa lebih dari 70 orang yang berlindung dari pemboman di ruang bawah tanah di bekas kantong pemberontak Ghouta timur juga dilaporkan telah meninggal. 43 dari kematian itu terkait dengan gejala yang konsisten dengan paparan bahan kimia yang sangat beracun.
"Kita semua harus marah pada laporan dan gambar mengerikan dari Douma ini," kata Peter Salama.
Laporan WHO menambah banyak bukti penggunaan gas beracun dalam serangan itu. Serangan ini menewaskan sedikitnya 42 orang dan telah meningkatkan prospek serangan udara Amerika terhadap pasukan yang setia kepada rezim Bashar al-Assad.
Pernyataan WHO ini juga didukung oleh petugas medis di Douma. Mereka melaporkan bahwa ratusan pasien tiba pada Sabtu malam dengan gejala paparan bahan kimia beracun.
"Gejala yang termasuk yaitu buih di mulut, mati lemas, pupil melebar , luka bakar kornea, sianosis sentral - semburat biru pada kulit - dan bau seperti klorin. Ini konsisten dengan paparan senyawa organofosfor. Gas sarin adalah bahan kimia," kata petugas medis tersebut.
Serangan itu tampaknya telah membuat pemberontak lokal Jaish al-Islam, setuju untuk meninggalkan kota bersama dengan ribuan warga sipil. Jaish al-Islam adalah kelompok oposisi yang dominan di Douma. Sebelumnya mereka telah mengatakan tidak menyetujui kesepakatan yang akan mengarah pada pengasingan paksa mereka.
Sejak itu, ribuan dari sekitar 100 ribu orang yang masih tinggal di Douma telah meninggalkan Douma menuju Suriah utara. Jumlah ini diperkirakan semakin meningkat pada Rabu.
Douma adalah daerah terakhir di Ghouta timur setelah kelompok pemberontak lainnya setuju untuk meninggalkan bagian lain dari wilayah itu. Wilayah ini telah dikepung selama bertahun-tahun dan menjadi sasaran beberapa serangan kimia di masa lalu.
Insiden terburuk terjadi pada 2013 ketika lebih dari 1.000 orang tewas setelah pemerintah Suriah melancarkan serangan menggunakan agen saraf. Serangan ini hampir mendorong intervensi AS dalam perang.
Kemungkinan intervensi Barat terhadap Assad akan meningkat setelah Rusia dan lawan-lawannya di Barat, AS, Inggris dan Prancis, memveto resolusi di dewan keamanan PBB atas kekejaman terbaru Suriah.
Komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia Zeid Raad al-Hussein mengatakan dunia harus bereaksi terhadap penggunaan senjata kimia atau risiko konsekuensi yang mengerikan. "Setelah beberapa dekade ketika kami pikir kami telah berhasil melarang penggunaan senjata kimia dan biologi, dunia duduk diam sementara penggunaannya menjadi normal di Suriah," kata Zeid Raad al-Hussein.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump dan sekutu Barat sedang mempertimbangkan tindakan militer untuk menghukum Presiden Suriah Bashar al-Assad atas serangan gas beracun di kota Douma. Namun pemerintah Suriah membantah telah melakukan serangan gas beracun di kota tersebut.