Rabu 18 Apr 2018 15:18 WIB

HRW: Pemerintah Burundi Lakukan Kekerasan

Penggunaan kekerasan untuk memastikan referendum berjalan sesuai keinginan presiden.

Rep: Marniati/ Red: Nidia Zuraya
Peta Burundi. Ilustrasi
Peta Burundi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KAMPALA -- Human Rights Watch (HRW) melaporkan pasukan pemerintah Burundi dan anggota partai yang berkuasa telah melakukan tindakan kekerasan kepada para penentang referendum. Mereka memukul yang menyebabkan tewasnya korban.

Kelompok hak asasi yang berbasis di New York tersebut mengatakan pihaknya telah mengkonfirmasi 19 kasus kekerasan sejak 12 Desember. "Semua tampaknya menekan warga Burundi untuk memilih 'ya' pada referendum yang dijadwalkan 17 Mei," kata HRW.

HRW menjelaskan agen negara dan anggota kelompok pemuda yang bersekutu dengan partai yang berkuasa, Imbonerakure, telah menggunakan kekerasan untuk memastikan pemungutan suara berjalan sesuai keinginan presiden. Korban-korban mereka termasuk seorang yang dipukul sampai tewas.

"Ada sedikit keraguan bahwa referendum mendatang akan disertai dengan lebih banyak pelanggaran. Para pejabat Burundi dan Imbonerakure melakukan kekerasan dengan impunitas total untuk memungkinkan presiden mempertahankan kekuasaannya," kata Direktur Afrika Tengah di Human Rights Watch Ida Sawyer.

Pemerintah Burundi membantah tuduhan HRW. Mereka mengatakan laporan HRW penuh kebohongan dan rekayasa.

"Mereka yang telah ditangkap secara tidak adil, biarkan keadilan melakukan tugasnya. Tidak pernah ada rencana untuk melakukan kekerasan karena konstitusi melarangnya," kata Asisten menteri dari urusan dalam negeriTherence Ntahiraja.

Ia mengaku telah terjadi ketegangan di Burundi. Namun pemerintah tidak pernah melanggar konstitusi dalam menghadapi situasi ini.

Burundi telah dilanda kekerasan sejak April 2015. Aksi demonstrasi terjadi setelah Presiden Pierre Nkurunziza menjabat kembali. Ini menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas. Lebih dari 400 ribu orang telah meninggalkan negara itu.

Hakim Pengadilan Kriminal Internasional tahun lalu mengesahkan penyelidikan atas dugaan kejahatan yang didukung negara selama pergolakan politik baru-baru ini di negara Afrika Timur tersebut. Kepala hak asasi manusia PBB menyebut Burundi sebagai salah satu rumah jagal manusia paling produktif dalam waktu belakangan ini.

Nkurunziza naik ke tampuk kekuasaan pada 2005 menyusul penandatanganan perjanjian Arusha, yang mengakhiri perang saudara Burundi yang menewaskan sekitar 300 ribu orang. Dia terpilih kembali tanpa perlawanan pada 2010 setelah oposisi memboikot suara.

Dia mengaku memenuhi syarat untuk masa jabatan ketiga di 2015 karena anggota parlemen, bukan populasi umum, telah memilih dia untuk masa jabatan pertamanya. Kritikus menyebut langkah itu tidak konstitusional.

Dalam referendum mendatang, warga Burundi akan memilih ya atau tidak untuk rencana perpanjangan masa jabatan presiden dari lima tahun ke tujuh tahun. Ini artinya Nkurunziza dapat memerintah selama 14 tahun lagi ketika masa jabatannya berakhir pada 2020.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement