REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Iran telah melarang semua badan pemerintah menggunakan aplikasi perpesanan berbasis asing untuk berkomunikasi dengan warga. Media pemerintah melaporkan pada Rabu (18/4), larangan ini dikeluarkan setelah ada banyak aksi unjuk rasa yang dimobilisasi melalui aplikasi-aplikasi tersebut.
Aplikasi yang paling dilarang adalah Telegram, yang digunakan oleh lebih dari 40 juta warga Iran untuk mengkomunikasikan segala hal, mulai dari percakapan biasa hingga perdagangan dan kampanye politik. Telegram membantu menyebarkan ajakan unjuk rasa di seluruh wilayah Iran pada Desember dan Januari lalu.
Larangan penggunaan aplikasi ini akan berlaku bagi semua pegawai lembaga pemerintah. Akun Telegram dengan nama Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan Wakil Presiden Iran Eshaq Jahangiri juga sudah ditutup pada Rabu (18/4).
Belum jelas apakah larangan ini juga akan diterapkan kepada pegawai negeri di luar jam kerja. Pengumuman tersebut juga tidak menjelaskan jenis hukuman apa yang akan diberikan kepada mereka yang melanggar.
Bulan lalu, para pejabat mengatakan Iran akan memblokir Telegram karena alasan keamanan nasional. Aplikasi ini dianggap membantu menyulut unjuk rasa yang menyebabkan 25 orang tewas dan hampir 5.000 dilaporkan ditangkap.
Pihak berwenang menutup sementara aplikasi Telegram selama unjuk rasa berlangsung, meskipun banyak yang terus mengaksesnya melalui proksi dan jaringan virtual pribadi.
Langkah pelarangan Telegram diikuti dengan pengenalan aplikasi perpesanan dalam negeri yang telah disetujui pemerintah Iran, atau kata lainnya versi 'halal' dari aplikasi asing. Iran sebelumnya juga sangat membatasi akses internet dan memblokir situs-situs media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Iran mengatakan aplikasi perpesanan asing dapat memperoleh lisensi dari otoritas suatu negara untuk beroperasi, jika mereka mentransfer database ke negara itu. Para pakar khawatir aplikasi ini dapat lebih mudah mengekspos komunikasi pribadi antar pengguna. Khamenei telah menekankan, melanggar privasi orang dilarang secara agama.
"Privasi tidak untuk dijual, dan hak asasi manusia tidak boleh dikompromikan hanya karena perasaan takut atau rakus," ujar CEO Telegram, Pavel Durov, di akun Twitter pribadinya, seperti dilaporkan laman Arab News.