Jumat 20 Apr 2018 12:45 WIB

Niat Serangan AS Lawan ISIS di Suriah Kini Dipertanyakan

AS bersama Inggris dan Prancis menyerang Suriah untuk menghancurkan senjata kimia

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Dalam gambar yang diambil oleh Angkatan Laut AS, kapal penjelajah kendali-rudal USS Monterey (CG 61) menembakkan rudal Tomahawk ke Suriah, Sabtu, (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.
Foto: Letnan john Matthew Daniels / Angkatan Laut AS melalui AP
Dalam gambar yang diambil oleh Angkatan Laut AS, kapal penjelajah kendali-rudal USS Monterey (CG 61) menembakkan rudal Tomahawk ke Suriah, Sabtu, (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Serangan rudal AS ke fasilitas senjata kimia Pemerintah Suriah dinilai telah mengaburkan fakta yang menyedihkan. Perlawanan pasukan koalisi pimpinan AS terhadap kelompok ISIS di negara itu justru telah terhenti.

AS mengerahkan 2.000 tentaranya di Suriah untuk membantu militan Arab dan Kurdi lokal melawan ISIS. Pasukan AS tetap melakukan pertempuran bahkan setelah Presiden Donald Trump menolak keterlibatan AS lebih dalam dan ingin mundur sepenuhnya dari Suriah dalam beberapa bulan mendatang.

Trump ingin negara lain bergantian berurusan dengan Suriah. Perang sipil di negara itu telah melahirkan krisis kemanusiaan terbesar sejak Perang Dunia II dalam hal pengungsi. Belum jelas apakah Trump akan melanjutkan penarikan total pasukannya, sementara ISIS masih terus mempertahankan kehadiran mereka di Suriah.

Sejak Januari, ketika Trump menegaskan hampir 100 persen wilayah ISIS di Suriah dan Irak berhasil direbut kembali, perlawanan telah terhenti dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk dimulai kembali. Pesawat-pesawat tempur AS secara berkala masih membom sisa wilayah yang dikuasai ISIS di Suriah timur, tetapi operasi darat oleh pasukan koalisi AS telah melambat.

"AS telah menghentikan kemajuannya dan pada dasarnya masih berusaha untuk menghindari kehilangan wilayah yang telah berhasil dapatkan hingga saat ini," kata Jennifer Cafarella, seorang analis di Institute for the Study of War.

Dia melihat ada dua solusi potensial bagi AS. Mengirim kekuatan tempur tambahan ke Suriah timur untuk menghadapi ISIS langsung, atau menyelesaikan sengketa diplomatik dengan Turki. Turki tengah memerangi mitra militer utama AS di Suriah, yaitu Syrian Democratic Forces.

Sekarang Trump justru melakukan serangan terhadap Pemerintah Suriah secara langsung. Serangan akhir pekan lalu merupakan serangan kedua AS hanya dalam kurun waktu satu tahun. Menurut Cafarella, dua pendukung utama Suriah yaitu Iran dan Rusia mungkin akan membalas AS secara militer.

AS mulai membom ISIS di Suriah pada September 2014 dan mengerahkan kontingen awal 50 pasukan operasi khusus di negara itu di tahun berikutnya. Kampanye anti-ISIS mendapatkan momentum pada 2016 dan membuat kemajuan terbesarnya dalam tahun pertama Trump menjabat sebagai presiden.

Seorang juru bicara koalisi militer pimpinan AS Kolonel Ryan Dillon menolak untuk mengatakan berapa banyak militan ISIS yang masih tersisa. Dillon mengatakan mereka bersembunyi di dua tempat di Suriah timur, yaitu di sekitar Kota Hajin di Sungai Eufrat di utara Bukamal dan di Dashisha dekat Kota Deir el-Zour.

Pemerintahan Trump mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir 98 persen dari wilayah ISIS berhasil direbut kembali. Hal itu menunjukkan operasi militer hampir mencapai kemenangan akhir. Namun pada 3 April lalu, jenderal Angkatan Darat AS, yang mengawasi operasi itu, Joseph Votel, mengatakan hanya 90 persen wilayah ISIS yang berhasil direbut kembali.

Situasinya terus menjadi semakin kompleks, kata Votel, menyinggung dampak serangan Turki ke Kota Afrin di Suriah barat laut. Operasi militer di Afrin adalah bagian dari rencana Turki untuk mengusir milisi Kurdi YPG Suriah, jauh dari daerah perbatasan Turki. Turki menganggap YPG sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan perpanjangan dari pemberontak Kurdi di Turki.

Akan tetapi, YPG juga merupakan mitra utama AS di Suriah, yang membentuk Syrian Democratic Forces atau SDF. Serangan Turki di Afrin membuat SDF lebih fokus untuk menghadapi Turki di Afrin daripada memerangi ISIS.

"Kami tidak lagi dalam upaya ofensif di lapangan untuk melawan mereka (ISIS)," kata Menteri Pertahanan AS Jim Mattis kepada wartawan pada 27 Maret lalu. Meski begitu, menurutnya, upaya perlawanan terhadap ISIS di Suriah tetap menjadi tujuan utama.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement