Selasa 24 Apr 2018 12:23 WIB

Perwakilan 29 Negara Sepakati Resolusi Konferensi Bandung

Perwakilan 29 negara non blok dari Asia, Afrika, dan Timur Tengah bertemu di Bandung

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Nidia Zuraya
Para peserta Konferensi Asia Afrika menuju Gedung Merdeka, Jl Asia Afrika Bandung
Foto: ARNI
Para peserta Konferensi Asia Afrika menuju Gedung Merdeka, Jl Asia Afrika Bandung

REPUBLIKA.CO.ID, Konferensi Asia-Afrika atau yang juga dikenal sebagai Konferensi Bandung berakhir pada hari ini, 24 April 1955. Disebut Konferensi Bandung karena konferensi tersebut diselenggarakan di Bandung.

Konferensi tersebut dihelat karena rasa frustrasi dan keterasingan yang meningkat di antara negara-negara non-blok.Ini adalah negara-negara yang lebih suka tetap netral selama Perang Dingin. Mereka meyakini bahwa kepentingan mereka tidak akan dilayani dengan bersekutu dengan Amerika Serikat (AS) atau Uni Soviet.

Pada bulan April 1955, perwakilan dari 29 negara-negara non-blok dari Asia, Afrika dan Timur Tengah bertemu untuk mempertimbangkan isu-isu yang mereka anggap paling mendesak. Negara-negara tersebut termasuk Mesir, Indonesia, India, Irak, dan Republik Rakyat Cina.

Berbagai pidato dan resolusi mengutuk kolonialisme dan imperialisme dan menyerukan kebebasan bagi semua bangsa yang ditaklukkan. Rasisme dalam segala bentuk juga dikritik, dengan sistem apartheid Afrika Selatan yang muncul sebagai pembungkaman yang sangat keras.

Negara-negara itu berkumpul juga untuk menyerukan untuk mengakhiri perlombaan senjata nuklir dan penghapusan senjata atom.

Pesan mendasar dari banyak sesi adalah sama: perjuangan Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet memiliki sedikit arti bagi negara-negara yang berjuang untuk pembangunan ekonomi, meningkatkan kesehatan, dan hasil panen yang lebih baik, dan melawan kekuatan kolonialisme dan rasisme.

Pemerintah AS pada umumnya dikecam dalam Konferensi Bandung. Meskipun diundang, pihaknya menolak untuk mengirim pengamat tidak resmi ke pertemuan. Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah mencatatkan bahwa penyamaan netralisme dalam perang melawan komunisme dekat dengan dosa berat.

Untuk AS, masalah itu hitam dan putih: bergabung dengan Amerika dalam perang melawan komunisme atau risiko dianggap sebagai musuh potensial. Kebijakan yang tidak menguntungkan ini membawa AS ke dalam banyak konflik dengan negara-negara di dunia terbelakang yang sedang berjuang untuk menemukan jalan tengah dalam konflik Perang Dingin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement