REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Organisasi Dunia Lawan Penyiksaan (OMCT) menyampaikan laporan atas dugaan kasus penyiksaan yang terjadi di Tunisia. Sejak 2013, terdapat ratusan kasus yang tidak diadili di negara itu, seolah ada kekebalan hukum terhadap para pelaku.
Pemerintah Tunisia diyakini bersalah atas tidak diadilinya kasus-kasus penyiksaan tersebut. Berdasarkan data yang didapat OMCT, setidaknya ada 300 kasus penyiksaan dan penganiayaan di negara Afrika Utara itu.
"Terdapat 300 kasus penyiksaan dan penganiayaan yang terjadi sejak September 2013 dan belum diketahui apakah ada aparat atau pihak berwenang yang terlibat dalam kejahatan ini," ujar wakil kepala OMCT, Mukhtar Al Tarifi, dilansir Middle East Monitor, Jumat (27/4).
Menurut Al Tarifi, Pemerintah Tunisia tidak berkomitmen untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut. Dalam banyak kasus penyiksaan, pemerintah negara itu disebut tak menuntut pelaku atau memberikan ganti rugi bagi para korban.
"Pemerintah Tunisa memiliki kewajiban hukum di bawah ratifikasi Konvensi Internasional Melawan Penyiksaan dan ini adalah tugas mereka untuk mengadili siapapun yang bersalah," jelas Al Tarifi.
Ia menegaskan, bahwa siapapun yang bersalah adalah termasuk petugas atau pihak berwenang di Tunisia. Tak ada satupun orang yang memiliki kekebalan hukum.
Dalam sebuah pernyataan, Al Tarifi juga memperlihatkan kasus seorang warga Tunisia bernama Ahmed bin Abda. Ia disebut disiksa oleh petugas keamanan yang pada akhirnya membuat mata kanannya mengalami kebutaan, hingga kerusakan pada tengkorak, wajah, dan hidung pada 2013.
"Namun, walaupun Ahmed sudah menjalani tes medis yang membuktikan bahwa ia disiksa, para terdakwa tetap tidak dihukum," kata Al Tarifi menambahkan.