REPUBLIKA.CO.ID, BANGLADESH — Pengungsi Rohingya di Bangladesh secara mengharukan meminta keadilan dan memohon bantuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) agar bisa pulang ke Myanmar.
Dalam kunjungan ke wilayah tidak bertuan di antara kedua negara, beberapa perempuan menangis sambil memeluk Duta Besar Inggris untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Karen Pierce saat menceritakan pengalaman mereka. "Ini menunjukkan beratnya tantangan bagi Dewan Keamanan untuk mencari cara agar mereka bisa pulang," kata Pierce.
Sejumlah utusan Dewan Keamanan yang akan terbang ke Myanmar pada Senin (30/4) dan bertemu dengan pemimpin Aung San Suu Kyi juga mengunjungi penampungan pengungsi Kutupalong, yang gersang dan kini menjadi rumah sementara bagi hampir 700 ribu warga Rohingya dari negara bagian Rakhine, Myanmar.
"Saya belum pernah menyaksikan tempat penampungan sebesar ini. Akan terjadi bencana jika ada hujan di sini," kata wakil Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB, Kelley Currie, Ahad (29/4).
Sejumlah pejabat PBB sudah menyuarakan kekhawatiran akan datangnya musim hujan karena memperburuk situasi di penampungan. Ratusan ribu pengungsi tinggal di bangunan sementara berbahan bambu, di tepi jurang dan area rendah yang rentan banjir.
Suara yang sama terhadap kondisi yang memprihatinkan pengungsi juga disuarakan oleh Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar Win Myat Aye yang pada awal bulan ini mengunjungi sejumlah tempat penampungan pengungsi di Bangladesh.
Bencana pengungsi meledak sekitar delapan bulan lalu saat militer Myanmar menggelar operasi perburuan terhadap kelompok militan Rohingya yang diduga melakukan serangan terhadap sejumlah pos jaga keamanan.
Namun, operasi militer itu dikecam sejumlah negara, seperti, Amerika Serikat, Inggris, dan PBB yang menyebutnya sebagai pembersihan etnis terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya.
Pada Ahad, ratusan pengungsi berbaris di penampungan Kutupalong sambil membawa spanduk bertuliskan kami menuntut keadilan. "Kami berdiri di sini untuk menuntut keadilan karena mereka membunuh bangsa kami dan menyiksa perempuan kami," kata pengungsi Rohingya, Sajida Begum kepada Reuters.
Sejumlah wanita yang bertemu dengan utusan Dewan Keamanan PBB menuding tentara Myanmar telah memerkosa mereka beramai-ramai, menyiksa anak-anak mereka, dan membunuh suami. Myanmar membantah tudingan itu dan mengatakan bahwa operasi militer di Rakhine adalah respon wajar atas serangan kelompok militan Rohingya.