REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Dokter sedang mempersiapkan lonjakan jumlah wanita Rohingya yang melahirkan. Mereka menjadi sasaran kekerasan seksual sembilan bulan lalu oleh pasukan keamanan Myanmar.
Pasukan Myanmar disebut melakukan tindakan sistematis berupa kejahatan seksual terhadap Muslim Rohingya saat ratusan ribu orang melarikan diri dari negara itu tahun lalu. Hampir sembilan bulan setelah eksodus, Medecins Sans Frontieres (MSF) mengatakan, terdapat peningkatan jumlah wanita Rohingya yang hamil di kamp-kamp pengungsi Bangladesh.
Para wanita telah tiba di rumah sakit di Bangladesh. Sejumlah perempuan mengalami pendarahan. Hal itu menunjukkan mereka telah mencoba menggugurkan kehamilan di rumah.
"Kami memang melihat kasus-kasus di mana mereka jelas mencoba mengakhiri kehamilan itu sendiri, yang sering berakhir dengan kematian untuk gadis itu karena dia tidak mencari perawatan kesehatan." ujar Georgina Brown, seorang dokter yang bekerja dengan MSF, seperti dikansir Skynet, Selasa (1/5).
MSF tidak dapat merinci jumlah kehamilan yang merupakan hasil dari serangan seksual. Namun, MSF memastikan, banyak wanita yang datang mencari bantuan setelah menjadi korban kekerasan seksual.
"Memiliki bayi yang lahir dari pemerkosaan, terutama yang mereka pikir berasal dari Myanmar, masyarakat tidak akan menerima bayi ini," kata Georgina.
MSF merinci, rata-rata 3.100 kelahiran per bulan diperkirakan terjadi di kamp pengungsi Rohingya selama beberapa bulan ke depan. Badan amal itu telah merawat 311 orang yang selamat dari kekerasan seksual antara 25 Agustus dan 31 Maret yang berusia sembilan hingga 50 tahun.
Human Rights Watch menyebutkan dua pertiga perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual di Myanmar tidak melaporkannya kepada pihak berwenang atau kelompok bantuan di Bangladesh. Utusan khusus PBB tentang kekerasan seksual, Pramila Patten, memperingatkan kekerasan seksual telah diperintahkan, diatur dan dilakukan oleh pasukan bersenjata Myanmar.
"Pemerkosaan adalah tindakan dan senjata genosida," katanya.