REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Korea Utara (Korut) membantah telah meretas basis data komite PBB yang bertugas memantau sanksi terhadap Pyongyang. Dalam sebuah pernyataan, Misi Korut di PBB mengatakan, Pyongyang tidak pernah mengakui sanksi yang dijatuhkan Dewan Keamanan PBB, karena dianggap ilegal dan melanggar hukum.
Korut juga menyatakan tidak tertarik dengan apa yang dilakukan komite sanksi. Pernyataan itu menambahkan, tuduhan bahwa Pyongyang telah melakukan peretasan adalah tuduhan yang tidak masuk akal.
"AS harus fokus untuk membantu proses perdamaian di semenanjung Korea daripada memanipulasi plot dengan menuduhkan insiden peretasan itu," tulis pernyataan tersebut dikutip The Guardian.
Menurut Misi Korut, tuduhan peretasan itu dilayangkan oleh Misi AS dalam sebuah pertemuan tertutup yang dilakukan komite sanksi PBB. Namun, Misi AS membantah telah membuat tuduhan seperti itu. "Tuduhan yang dikaitkan dengan delegasi AS ini sepenuhnya salah," kata seorang juru bicara Misi AS di PBB.
AS telah menekan Korut melalui PBB, dengan memberlakukan tiga set sanksi ekonomi di tahun lalu terkait program senjata nuklirnya. Sanksi-sanksi itu mempengaruhi sektor-sektor seperti impor batu bara, besi, perikanan, tekstil, dan minyak.
Akan tetapi, baru-baru ini hubungan AS dan Korut telah semakin menghangat, menjelang pertemuan bersejarah antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korut Kim Jong-un yang akan diadakan dalam hitungan minggu. Pertemuan itu diselenggarakan setelah sebelumnya Kim Jong-un bertemu dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in, yang memacu harapan untuk mengakhiri konflik selama beberapa dekade.