REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia Julie Bishop memperingatkan Beijing agar tidak melakukan militerisasi di Laut Cina Selatan. Hal ini disampaikan Menlu Bishop menyusul laporan bahwa negara itu telah memasang sistem rudal di perairan yang dipersengketakan.
Jaringan media CNBC kemarin melaporkan Cina telah memasang rudal-rudal penjelajah anti-kapal dan sistem rudal darat-ke-udara pada tiga pos terdepan di Laut Cina Selatan. Media ini mengutip sumber-sumber di kalangan intelijen AS.
Menlu Bishop tidak menjelaskan apakah Pemerintah Australia memiliki data intelijen mengenai hal itu. Namun dia menyebutkan, jika laporan itu akurat maka pihaknya sangat khawatir.
"Jika laporan media itu akurat maka Pemerintah Australia prihatin karena hal itu bertentangan dengan apa yang disampaikan Cina yang tidak akan memiliterisasi pulau-pulau buatan ini," kata Menlu Bishop.
"Cina tentu saja memiliki tanggung jawab unik sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dalam menegakkan perdamaian dan keamanan di seluruh dunia," jelasnya.
"Tindakan apa pun untuk memiliterisasi pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan akan bertentangan dengan tanggung jawab dan peranan mereka," tambah Menlu Bishop.
Amerika Serikat juga telah memperingatkan Cina bahwa militerisasi di wilayah itu akan membawa konsekuensi. Ditanya tentang laporan itu, juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan, "Kami sangat menyadari militerisasi Cina di Laut Cina Selatan."
"Kami telah menyampaikan permasalahan ini secara langsung kepada China tentang hal ini dan mengenai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjangnya," katanya.
Huckabee Sanders tidak menjelaskan seperti apa bentuk konsekuensinya.
Seorang pejabat AS yang tak mau disebutkan namanya mengatakan intelijen AS melihat tanda-tanda bahwa Cina telah memindahkan beberapa sistem persenjataan ke Kepulauan Spratly dalam sebulan terakhir. Namun dia tidak menjelaskan rincian lebih lanjut.
CNBC mengutip sumber yang mengatakan bahwa dalam penilaian intelijen AS, rudal itu dipindahkan ke Fiery Cross Reef, Subi Reef dan Mischief Reef di Kepulauan Spratly dalam 30 hari terakhir.
Photo: Subi Reef, salah satu pulau buatan China di Laut China Selatan. (CSIS AMTI: Reuters)
Pemasangan sistem rudal itu menjadi yang pertama dilakukan Cina di Spratly, suatu wilayah yang diklaim sejumlah negara termasuk Vietnam dan Taiwan. Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan pihaknya memiliki kedaulatan sah atas Spratly dan pengerahan tersebut diperlukan untuk keamanan nasional dan tidak ditujukan untuk negara manapun.
"Mereka yang tidak berniat menjadi agresif tidak perlu khawatir atau takut," kata juru bicara Kemenlu Cina Hua Chunying.
Kementerian Pertahanan Cina tidak menanggapi permintaan untuk dimintai komentarnya. CNBC mengatakan rudal penjelajah anti-kapal YJ-12B memungkinkan Cina menyerang kapal-kapal di wilayah itu dalam jarak 295 mil laut. Dikatakan rudal jarak jauh HQ-9B, darat-ke-udara dapat menargetkan pesawat, drone dan rudal penjelajah dalam jarak 160 mil laut.
Eric Sayers, mantan konsultan komandan Komando Pasifik AS, menyebut pemasangan sistem rudal itu sebagai perkembangan utama. "Ketika Cina melihat pihaknya bisa lolos dengan tindakan semacam ini dengan biaya yang kecil - seperti yang mereka lakukan sepanjang tahun 2015 dan 2016 - tampaknya semakin mungkin nantinya mereka akan terus menekan," kata Sayers.
"Cina melihat keikutsertaannya dalam latihan itu sebagai tanda penerimaan di antara kekuatan maritim dunia. Tetapi Beijing tidak boleh diizinkan melakukan militerisasi domain maritim terbuka ini dan masih dihormati sebagai anggota komunitas maritim," tambahnya.
Bulan lalu, Laksamana AS Philip Davidson, yang dinominasikan memimpin Komando Pasifik AS mengatakan Cina dapat menggunakan "pangkalan operasi ke depan" di Laut Cina Selatan untuk menantang kehadiran AS dan "dengan mudah mengatasi kekuatan militer lainnya di Laut Cina Selatan yang turut mengklaim wilayah itu."
Reuters