Jumat 04 May 2018 19:42 WIB

Islamofobia dan Partisipasi Politik Muslim AS

Kejahatan kebencian terhadap Muslim di AS meningkat.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Muslim Amerika
Foto: AP Photo
Muslim Amerika

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Meningkatnya kasus Islamafobia di AS tahun lalu telah mendorong Muslim di negara itu untuk terlibat aktif dalam politik. Hal itu diungkapkan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), sebuah lembaga think-thank yang berbasis di Washington.

Dalam poling tahunan ketiganya yang diterbitkan pekan ini, ISPU menemukan bahwa kejahatan kebencian terhadap Muslim di AS telah meningkat ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu tak dapat dipisahkan dari kampanye kepresidenan Donald Trump yang mengikuti pilpres AS pada akhir 2016.

Kendati demikian, merebaknya fenomena dan kasus Islamofobia di AS telah mendorong Muslim di sana untuk terlibat lebih aktif secara politik, termasuk dalam politik elektoral. Menurut ISPU, motivasi utama mereka adalah hendak mengubah apa yang dilihatnya sebagai pergeseran bias di negaranya.

"Sisi baiknya dari semua ini adalah bahwa selama beberapa tahun terakhir umat Islam terus mengalami kenaikan dalam persentase yang melaporkan terdaftar untuk memilih," ungkap Direktur Penelitian ISPU Dalia Mogahed, dikutip laman Aljazirah, Jumat (4/5).

"Sementara banyak hal menjadi lebih sulit, respons dalam banyak kasus adalah keterlibatan yang lebih besar, bukan isolasi. Muslim (AS) kurang puas dengan arah negara tetapi mereka lebih terlibat secara politik," kata Mogahed menambahkan. Mogahed diketahui pernah menjabat sebagai penasihat urusan Muslim selama era pemerintahan Barack Obama.

Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan ISPU, hampir 75 persen Muslim di sana mengatakan mereka terdaftar untuk memilih. Jumlah ini meningkat tujuh persen dibandingkan hasil jajak pendapat yang dilakukan ISPU tahun lalu.

Saat ini terdapat lebih dari 90 Muslim Amerika yang mencalonkan diri untuk jabatan publik di seluruh AS tahun ini. Mayoritas dari mereka berasal dari Partai Demokrat. Jumlah itu menandai kenaikan luar biasa untuk kelompok beragam yang biasanya kurang terwakili dalam politik AS.

Direktur The Pluralism Project Hamza Khan adalah salah satu Muslim yang menjadi kandidat Demokrat untuk delegasi negara bagian di Maryland. Ia mengatakan saat ini Muslim memang kerap menjadi sasaran diskriminasi di AS.

Menurutnya, hal itu tak dapat dipisahkan dari kepasifan partisipasi Muslim AS dalam politik. "Sekarang kami secara fisik mengalami dampak setelah tidak berpartisipasi dalam demokrasi. Orang-orang menyadari bahwa satu-satunya cara untuk melindungi diri mereka sendiri adalah menjadi bagian dari demokrasi," ujar Khan.

The Pluralism Project mendukung berbagai kandidat di AS, termasuk Rashida Tlaib, seorang Demokrat Michigan. Pada 2008 lalu Tlaib menjadi Muslim pertama yang terpilih sebagai wakil negara bagian. Jika tahun ini terpilih, Tlaib akan menjadi wakil Muslim pertama di Kongres.

Selain Khan dan Tlaib terdapat puluhan calon Muslim lainnya yang akan berkontestasi dalam berbagai pemilihan di seluruh AS, mencakup pemilihan jabatan di dewan kota dan gubernur. Kendati demikian, perjuangan mereka untuk mendapatkan jabatan publik diprediksi tak akan mudah.

ISPU telah melakukan jajak pendapat terhadap 2.500 warga AS dengan latar belakang keyakinan yang berbeda. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan sebagian besar responden tak mempercayai bahwa Muslim AS bertanggung jawab atas serangkaian serangan teror yang terjadi di sana.

Menurut ISPU dalam laporannya, alih-alih memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan, Muslim di AS lebih condong menolak kekerasan daripada masyarakat umum. Oleh sebab itu, ISPU menilai stereotip terhadap Muslim di AS merupakan dampak dari label atau penggambaran yang dilakukan media-media di negara tersebut.

"Seseorang yang dianggap Muslim dan dituding melakukan rencana teror akan menerima tujuh setengah kali liputan media daripada seseorang yang tidak dianggap sebagai Muslim," kata ISPU dalam laporannya.

ISPU pun menerangkan secara terperinci tentang mereka yang mewakili Islam dalam film dan televisi digambarkan sama seperti petarung. Sementara tokoh protagonis yang mewakili kelompok agama lain ditampilkan sebagai pemimpin agama.

Selain penggambaran secara stereotip oleh media, potensi Muslim AS untuk menghadapi diskriminasi dan perlakuan anti-Musim menjadi lebih besar karena tokoh-tokoh yang mengelilingi Trump. "Lihatlah lautan orang (sekitar Trump), penasihat keamanan nasional pertama (Michael) Flynn, penasihat keamanan nasional saat ini (John) Bolton, (Mike) Pompeo, Jeff Sessions, dan lainnya," kata profesor agama, hubungan internasional, dan studi Islam di Georgetown University, John Esposito.

Menurut Esposito, tokoh-tokoh di sekeliling Trump jelas memiliki sentimen anti-Muslim yang parah. Flynn, misalnya, pernah menyebut Islam sebagai kanker ganas. Bolton telah memimpin sebuah think-thank anti-Muslim.

Kemudian Pompeo yang baru saja menjabat sebagai menteri luar negeri AS menerima kehormatan tertinggi dari ACT for America, kelompok "kontra-jihad" yang dipimpin Brigitte Gabriel. Sementara Sessions mengecam Islam sebagai "ideologi beracun".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement