REPUBLIKA.CO.ID, TEGUCIGALPA -- Pemerintah Honduras menyesalkan langkah Amerika Serikat (AS) yang memutuskan untuk mengakhiri status terlindungi sementara atau TPS bagi puluhan ribu warga negara tersebut yang berada di Negeri Paman Sam. Tak sedikit dari mereka yang sudah menetap di AS selama hampir dua dekade.
Kementerian Luar Negeri Honduras mengeluarkan pernyataan atas keputusan AS. Meski menilai sebagai hak kedaulatan, namun langkah tersebut tetap disesali dan diharapkan untuk dipertimbangkan terlebih dahulu.
"Kami sangat meratapi itu, tapi bagaimana pun warga Honduras akan selalu diterima di tanah air mereka, di sini dengan tangan terbuka," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Honduras, dilansir ABC News, Sabtu (5/5).
Pemerintah AS mengumumkan pada Jumat (4/5) bahwa program TPS akan diakhiri untuk setidaknya 57 ribu warga Honduras. Mereka memiliki waktu hingga 5 Januari 2020, untuk menyelesaikan berbagai urusan sebelum kembali ke negara mereka.
Termasuk bagi mereka yang mencoba untuk menormalisasi status migrasi dengan cara lain, diantaranya melalui pernikahan atau disponsori oleh suatu pihak. Namun, angka yang disebutkan sebelumnya hanya mewakili sebagian kecil warga Honduras yang tinggal di AS, yang diperkirakan mencapai 1,1 juta orang.
Mantan presiden Bank Sentral dan mantan duta besar Honduras untuk AS, Hugo Noe mengatakan keputusan yang dikeluarkan Presiden Donald Trump itu sebagai sebuah tragedi. Hal ini nantinya hanya akan menciptakan ketidakpastian bagi banyak keluarga.
"Nantinya warga Honduras akan memiliki status ilegal, namun mereka tidak akan kembali ke negara asalnya," ujar Noe.