REPUBLIKA.CO.ID,TEHERAN -- Presiden Iran Hassan Rouhani mengkritik pemblokiran aplikasi perpesanan Telegram di negaranya. Rouhani, seorang ulama yang relatif moderat dalam teokrasi Syiah Iran, menyatakan pendapatnya tersebut secara daring (online) di Instagram pada Jumat (4/5).
"Tidak ada jaringan sosial atau perpesanan yang diblokir 'oleh pemerintah ini' dan tidak akan ada yang diblokir," tulis Rouhani, dilaporkan kantor berita ISNA.
"Jika pada tingkat tertinggi sistem pemerintahan ini keputusan telah dibuat untuk membatasi atau memblokir komunikasi rakyat, maka pemilik sebenarnya dari negara ini, yaitu rakyat itu sendiri, harus menyadari hal tersebut," tambah dia.
Telegram digunakan oleh hampir setengah dari 80 juta penduduk Iran. Aplikasi ini sangat penting dalam mendorong mobilisasi aksi protes nasional pada Desember dan Januari lalu.
Pihak berwenang memutuskan untuk memblokir sementara aplikasi Telegram guna menenangkan demonstrasi. Akan tetapi pada Senin (30/4), pengadilan Iran memerintahkan penyedia layanan internet untuk memblokir akses ke aplikasi tersebut. Sejak saat itu, sebagian besar pengguna belum dapat mengakses Telegram.
Jaksa Teheran juga memerintahkan Telegram untuk diblokir dengan tidak memungkinkan pengguna untuk melewati batasan penggunaan virtual private network (VPN). Warga Iran yang paham komputer secara rutin menggunakan VPN semacam itu untuk menyiasati pembatasan online di negara tersebut dalam menggunakan Facebook, Twitter, dan situs terlarang lainnya.
Telegram memungkinkan penggunanya untuk mengirim pesan teks, gambar, dan video melalui internet. Aplikasi ini adalah aplikasi yang sangat terenskripsi dan memungkinkan pengguna untuk mengatur pesan mereka ke pengaturan 'self-destruct' setiap periode tertentu. Fitur ini ini menjadi favorit di kalangan aktivis yang ingin melindungi privasi mereka.
Ketua komite parlemen Iran yang mengatur keamanan nasional dan kebijakan luar negeri, Alaeddin Boroujerdi, telah menegaskan Telegram akan diblokir secara permanen. Otoritas Iran telah mencoba meyakinkan masyarakat untuk menggunakan aplikasi perpesanan yang dibuat di dalam negeri sebagai gantinya. Namun para aktivis khawatir aplikasi tersebut dapat dimonitor oleh pemerintah.
Boroujerdi juga mengatakan keputusan untuk memblokir aplikasi tersebut adalah tanggapan terhadap peran destruktif Telegram dalam protes anti-pemerintah yang dimulai pada akhir Desember lalu. Dalam protes ini, sedikitnya 25 orang tewas dan hampir 5.000 lainnya dilaporkan ditangkap.