Senin 14 May 2018 06:57 WIB

Rouhani: Iran Tetap Menjadi Bagian dari Kesepakatan Nuklir

Menlu Iran menyebut kesepakatan nuklir bisa dirancang ulang tanpa melibatkan AS

Rep: Marniati/ Red: Nidia Zuraya
Reaktor nuklir Iran
Reaktor nuklir Iran

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan Iran akan tetap berkomitmen pada kesepakatan nuklir 2015 jika kepentingannya dilindungi. Menurut Rouhani, penarikan Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan nuklir Iran merupakan pelanggaran moral.

"Jika lima negara yang tersisa terus mematuhi perjanjian itu, Iran akan tetap dalam kesepakatan meskipun tanpa Amerika," katanya, Ahad (13/5).

Keputusan Presiden AS Donald Trump terhadap kesepakatan nuklir Iran telah mengecewakan sekutu Eropa. Ini menimbulkan ketidakpastian atas pasokan minyak global dan meningkatkan risiko konflik di Timur Tengah. Ini juga menyoroti perpecahan di antara elit politik Iran.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri IranMohammad Javad Zarif berharap pakta kesepakatan itu dapat dirancang ulang tanpa melibatkan Washington sebagai anggota. Zarif telah memulai tur negaranya dalam upaya untuk menyelamatkan kesepakatan tersebut.

Pada Ahad (13/5), ia berada di Cina. "Kami berharap bahwa dengan kunjungan ke Cina ini dan negara-negara lain maka kami dapat membangun desain masa depan yang jelas untuk perjanjian komprehensif," katanya.

Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi mengatakan, tur Zarif akan meningkatkan pemahaman posisi Iran. Ini juga membantu Tehran melindungi kepentingannya yang sah.

"Cina ingin mempertahankan komunikasi dan koordinasi dengan semua pihak yang terkait, termasuk Iran, dan mengambil sikap yang objektif, adil dan bertanggung jawab untuk terus menjaga perjanjian," kata Wang.

Tiga negara Eropa-Inggris, Prancis dan Jerman- telah berkomitmen kembali pada perjanjian tersebut. Tetapi ulama senior Iran Ayatollah Ahmad Khatami mengatakan pada Jumat bahwa Eropa tidak dapat dipercaya.

Pada Ahad (13/5) , ketua Majelis Ahli, sekelompok ulama yang bertanggung jawab untuk memilih pemimpin tertinggi Iran, mengatakan Rouhani harus meminta maaf karena tidak mendapatkan jaminan dari kekuatan dunia untuk perjanjian tersebut.

"Presiden harus secara jujur dan terbuka meminta maaf kepada rakyat atas kerusakan yang disebabkan oleh perjanjian nuklir," kata Ayatollah Ahmad Jannati.

Kepala Pengawal Revolusi elit juga memperingatkan agar tidak mengandalkan kekuatan asing. "Keluarnya Amerika bertujuan untuk mematahkan perlawanan rakyat Iran, yang bukan hal baru. Tetapi masalah hari ini bukan sanksi AS. Beberapa pejabat melihat ke arah luar daripada melihat potensi domestik," kata komandan Garda Jenderal Mohammad Ali Jafari pada kantor berita negara IRNA.

Jafari juga meragukan kemampuan negara-negara Eropa untuk menyelamatkan kesepakatan itu.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo berharap agar AS dan Eropa memiliki pandangan serupa terkait cara menangani Iran. Khususnya setelah Trump mengancam akan memberi sanksi kepada perusahaan-perusahaan Eropa yang terus melakukan bisnis di Iran.

Berbicara di Fox News Sunday, Pompeo mengatakan AS tidak bertujuan ke kekuatan Eropa ketika memutuskan mundur dari kesepakatan. "Saya berharap di hari-hari dan pekan pekan mendatang kami dapat membuat kesepakatan yang benar-benar berhasil, yang benar-benar melindungi dunia dari perilaku buruk Iran, bukan hanya program nuklir mereka, tetapi juga rudal dan perilaku jahat mereka," katanya.

Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton mengatakan sanksi bisa dikenakan pada perusahaan-perusahaan Eropa. "Itu tergantung pada perilaku pemerintah lain, "kata Bolton di CNN" State of the Union. "

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement