REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap warga Palestina oleh militer Israel. Macron mengatakan, akan segera memanggil dan menemui Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu guna membahas kekerasan yang terjadi
Rencana diskusi dengan Netanyahu dilakukan setelah Macron melakukan perbincangan dengan Raja Yordania Abdullah dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Senin (14/5) kemarin. Namun, belum ada keterangan lebih lanjut terkait rencana pertemuan Macron dengan Netanyahu.
"(Macron) bersedih jatuhnya korban sipil yang besar di Gaza, Palestina dalam beberapa pekan terakhir. Dia juga mengutuk kekerasan pasukan bersenjata Israel terhadap demonstran," kata Kantor Kepresidan Prancis, Selasa (15/5).
Demonstrasi dilakukan sebagai bentuk penolakan warga Palestina atas dipindahkannya Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) dari Tel Aviv ke Yerusalem. Terkait hal itu, Macron menegaskan posisinya yang menentang keputusan yang dibuat Presiden AS Donald Trump tersebut.
Setali tiga uang dengan Macron, Pemeritah Inggris meminta Israel untuk menahan diri dalam gelombang demonstrasi yang terjadi. Inggris mengaku khawatir dengan kekerasan yang berjung pada tewasnya nyawa warga di Gaza. "Sangat disayangkan bahwa elemen-elemen ekstremis mungkin berusaha mengeksploitasi protes-protes ini untuk tujuan kekerasan mereka sendiri," kata Menteri Inggris untuk Timur Tengah Alistair Burt dalam sebuah pernyataan.
Dia mengatakan, pemerintah Inggris mengaku tidak akan melarang Israel untuk mempertahankan perbatasannya. Namun, dia mendesak Israel untuk menahan diri lantaran besarnya jumlah korban yang semakin memprihatinkan.
Sedikitnya 55 demonstran tewas menyusul bentrokan dengan pasukan militer Israel. Mereka melakukan aksi protes guna menolak pembukaan Kedutaan Besar AS untuk Israel di Yerusalem.
Pasukan Pertahanan Israel mendata, lebih dari 35 ribu orang melakukan protes di sepanjang perbatasan Gaza. Kementerian Kesehatan Gaza menyebut, sedikitnya 2.770 orang terluka dalam aksi demontrasi itu.
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengatakan, tindakan pasukan Israel sebagai pembantaian. Ia mengusulkan adanya penengah baru yang menggantikan AS sebagai pembicara perantara antara Palestina dan Israel.
Gedung Putih selanjutnya menyalahkan musibah kematian itu pada kelompok Palestina Hamas. Mereka menganggap Hamas secara sengaja memprovokasi terkait pemindahan Kedubes AS untuk Israel di Yerusalem.