REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya tidak akan pernah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Turki pun tak akan menerima langkah Amerika Serikat memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Kebijakan tersebut dinilainya telah mendorong Israel semakin brutal menindas warga Palestina.
"Kami tidak akan pernah menerima upaya AS memindahkan kedutaan ke Yerusalem dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata Erdogan dalam sebuah konferensi pers bersama Perdana Menteri Inggris Theresa May di London pada Selasa (15/5), dikutip Anadolu.
Ia menilai, kebijakan tak acuh AS telah mendorong Israel melakukan lebih banyak penindasan terhadap warga Palestina. "Israel adalah penjajah di sana dan terus meneror (Palestina). Sejarah tidak akan memafkan Anda (AS), kita akan melihat kenyataan ini dan sejarah tidak akan memaafkan Israel, kita akan melihat ini juga," ujar Erdogan.
Terkait eskalasi terbaru di perbatasan Jalur Gaza, Erdogan telah menyerukan Organisasi Kerja Sama Islam menggelar pertemuan darurat. Ia mengatakan pesan kuat dari Istanbul akan diberikan kepada dunia pada Jumat (18/5) mendatang.
Sementara itu, Theresa May menyerukan penyelidikan independen dan transparan terkait eskalasi serta kekerasan terbaru di Jalur Gaza. "Hilangnya nyawa yang telah kita lihat adalah tragis dan sangat memprihatinkan. Kekerasan semacam ini merusak upaya perdamaian dan kami meminta semua pihak menahan diri," kata May.
"Ada kebutuhan mendesak untuk menetapkan fakta-fakta tentang apa yang terjadi, termasuk mengapa volume seperti tembakan api digunakan dan bagian apa yang dimainkan Hamas," ucap May.
Sedikitnya 62 warga Palestina telah tewas dan ribuan lainnya luka-luka akibat diserang pasukan keamanan Israel ketika berdemonstrasi perbatasan Gaza-Israel pada Senin (14/5). Ribuan warga Palestina di perbatasan Jalur Gaza melakukan demonstrasi dalam rangka menentang pembukaan Kedubes AS di Yerusalem. Dalam aksi tersebut, massa menyuarakan tentang pengembalian hak para pengungsi Palestina untuk pulang ke desanya yang direbut dan diduduki Israel setelah Perang Arab-Israel 1948.
Aksi protes dan menentang pendudukan Israel telah dilakukan ribuan warga Palestina di perbatasan Jalur Gaza sejak akhir Maret lalu. Namun aksi tersebut direspons secara brutal oleh Israel. Mereka tak segan menembaki para demonstran agar tak mendekati pagar perbatasan.
Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengatakan sebagian besar warga Palestina yang berdemonstrasi di perbatasan Gaza-Israel telah diperalat Hamas. Ia menegaskan tak akan segan menyerang mereka yang mendekat ke pagar perbatasan Israel.
Baca juga: Rumah Sakit di Gaza Berjibaku Tangani Korban Luka