Kamis 17 May 2018 10:21 WIB

Korea Utara Kecewa Dibandingkan dengan Libya

Penasihat Keamanan Nasional AS menyebut Korut bisa mengikuti denuklirisasi Libya.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Nuklir Korea Utara.
Foto: Reuters/Damir Sagolj
Nuklir Korea Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Melalui media pemerintah, KCNA, Korea Utara (Korut) sempat mengungkapkan harapannya yang tinggi terhadap KTT AS-Korut. KTT yang rencananya akan digelar pada 12 Juni mendatang di Singapura itu akan mempertemukan Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korut Kim Jong-un.

Namun, baru-baru ini Korut mengungkapkan kekecewaannya terhadap pernyataan ceroboh yang dikeluarkan oleh Penasihat Keamanan Nasional baru AS, John Bolton. Korut kemudian merilis pernyataan yang mengatakan mereka mungkin akan menarik diri dari pertemuan itu.

"Kami tidak dapat menyembunyikan perasaan jijik kami terhadapnya," kata Wakil Menteri Luar Negeri Korut Kim Kye-gwan, seperti dilaporkan kantor berita Korut, KCNA.

Dalam sebuah wawancara televisi pada akhir pekan lalu, Bolton mengatakan Korut dapat mengikuti proses denuklirisasi "model Libya", dengan menyerahkan senjata nuklirnya untuk mendapat imbalan keringanan sanksi. Namun proses itu mengkhawatirkan Pyongyang, mengingat pemimpin Libya Moammar Gaddafi tewas di tangan pemberontak yang didukung NATO beberapa tahun setelah menyerahkan senjata nuklirnya.

Setelah muncul kemarahan Korut, Bolton menyatakan ia masih mendukung berlangsungnya KTT AS-Korut. "Kami berusaha bersikap optimistis dan realistis pada saat yang sama," kata Bolton kepada Fox News Radio.

Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan, Pemerintah AS berharap KTT masih bisa terus berlanjut meski ada ancaman pembatalan dari pihak Korut. "Presiden (Trump) siap jika pertemuan itu dilakukan. Jika tidak, kami akan melanjutkan kampanye tekanan maksimum yang sedang berlangsung," ungkapnya, dikutip BBC.

Alasan Korut menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangun gudang senjata nuklir dengan biaya besar adalah untuk bertahan hidup. Sehingga dibandingkan dengan Libya dan Irak yang saat ini rezimnya telah runtuh, membuat Korut sedikit meradang.

Ancaman Korut menjadi peringatan bagi pemerintahan Trump. Saat ini terlihat seperti Trump yang sangat ingin bertemu dengan Kim Jong-un, karena KTT AS-Korut dilihat sebagai buah kesuksesan atas strategi tekanan maksimum AS terhadap Korut.

Sebelumnya Korut telah menunjukkan antusiasme yang sama. Pyongyang memutuskan untuk menangguhkan semua uji coba rudal, membebaskan tiga tahanan AS, serta berencana membongkar situs uji coba nuklir di depan media internasional. Kim Jong-un bahkan telah bertemu dengan Presiden Korsel Moon Jae-in dan menandatangani deklarasi bersama.

Namun, setelah mendengar Pemerintah AS memiliki pendekatan yang tidak mereka sukai, Korut akan merasa telah melangkah terlalu jauh. Korut tampaknya siap untuk meninggalkan pertemuan pentingnya dengan Trump. "Jika AS mencoba menyudutkan kami dan memaksakan pelucutan nuklir secara sepihak, kami tidak akan lagi tertarik pada dialog semacam itu," kata Kim Kye-gwan.

Sebagai wakil menteri luar negeri, Kim sangat dihormati dalam kepemimpinan Korut. Ia juga telah mengambil bagian dalam negosiasi dengan AS sebelumnya. Sangat kecil kemungkinan komentarnya tidak didukung secara pribadi oleh Kim Jong-un.

Baca: Trump Masih Yakin Kim Jong-un Mau Menemuinya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement