REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Venezuela, Senin (21/5). Dalam sanksi ini, Washington melarang warga AS terlibat dalam penjualan piutang negara Venezuela yang terkait dengan minyak dan aset lainnya.
"Perintah eksekutif ini menutup jalan lain bagi praktik korupsi yang kami amati telah sering digunakan. Perintah ini menghentikan kemampuan pejabat korup Venezuela untuk menjual aset publik secara tidak pantas sebagai imbalan atas suap," kata seorang pejabat senior pemerintah AS kepada wartawan.
Sanksi ini merupakan bagian dari tanggapan Pemerintah AS atas terpilihnya kembali Presiden Venezuela Nicolas Maduro dalam pemilihan yang diselenggarakan pada Ahad (20/5). AS sebelumnya telah memberikan serangkaian sanksi yang bertujuan untuk memotong pemasukan bagi Pemerintah Venezuela yang sudah kekurangan uang.
Pada Senin (21/5), Venezuela mengatakan sanksi baru AS yang membatasi kemampuan negara untuk melikuidasi aset dan utang negara di AS adalah sebuah tindakan ilegal. "(Sanksi-sanksi) ini adalah kegilaan, aksi biadab, dan secara mutlak bertentangan dengan hukum internasional," kata Menteri Luar Negeri Venezuela Jorge Arreaza dalam pernyataan singkat di istana kepresidenan Miraflores.
Di hari yang sama, Presiden AS Donald Trump menyerukan kepada Pemerintah Venezuela untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan adil. Hal tersebut disampaikan setelah kemenangan Maduro dalam pemungutan suara telah mendapat kecaman secara luas di luar negeri.
"Kami menyerukan rezim Maduro untuk memulihkan demokrasi, menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan adil, membebaskan semua tahanan politik segera dan tanpa syarat, dan mengakhiri penindasan serta perampasan ekonomi rakyat Venezuela," kata Trump dalam sebuah pernyataan.
Dewan pemilihan umum Venezuela yang dipimpin oleh loyalis Maduro mengumumkan, Maduro berhasil meraih 5,8 juta suara. Sementara penantangnya, Henry Falcon, hanya memperoleh 1,8 juta suara.
Falcon menolak hasil pemilihan itu karena dianggap sebagai proses yang menopang kediktatoran Maduro. Selain menolak hasil pemilu, Falcon juga menyerukan pemungutan suara ulang untuk melawan strategi pemerintah.
"Prosesnya tidak diragukan lagi sangat kurang memiliki legitimasi dan karena itu kami tidak mengakuinya," kata Falcon (56 tahun), yang pernah menjabat sebagai gubernur negara bagian.
Kandidat presiden ketiga, pastor evangelis Javier Bertucci, juga mengikuti jejak Falcon dalam menolak hasil pemungutan suara. Ia juga turut menyerukan pemilihan ulang.
Menurut data dewan pemilihan, angka partisipasi pemilih dalam pemilihan presiden Venezuela kali ini hanya 46,1 persen. Angka ini turun dari 80 persen pemilih yang berpartisipasi dalam pemilihan presiden terakhir pada 2013.