REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi kembali menangkap tiga aktivis hak perempuan setelah memperluas tindakan kerasnya, pada Selasa (22/5). Penangkapan ini dilakukan hanya beberapa minggu sebelum larangan mengemudi bagi perempuan berakhir.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) pekan lalu melaporkan penahanan tujuh aktivis yang sebagian besar perempuan. Mereka tengah berkampanye memprotes larangan mengemudi dan mengakhiri sistem perwalian, yang mengharuskan perempuan untuk mendapatkan persetujuan dari keluarga laki-lakinya untuk membuat sebuah keputusan besar.
Pemerintah Saudi kemudian mengumumkan, tujuh orang aktivis itu ditangkap karena diduga melakukan kontak mencurigakan dengan entitas asing dan menawarkan dukungan keuangan kepada 'musuh' di luar negeri. Pihak berwenang mengatakan akan mengidentifikasi orang-orang yang terlibat.
"Tindakan ini tidak konsisten dengan pesan-pesan reformasi yang didukung Barat untuk Visi 2030. Tindakan ini akan memiliki konsekuensi," kata seorang diplomat, mengacu pada agenda reformasi ekonomi dan sosial yang ambisius di Arab Saudi.
Amnesty International mengatakan kepada Reuters, sudah ada tujuh perempuan dan dua pria yang ditahan, bersama dengan seorang aktivis yang tidak diketahui identitasnya. Human Rights Watch juga melaporkan jumlah yang sama.
"Amnesty International khawatir tentang laporan penangkapan individu lebih lanjut dan kami menyerukan kepada pihak berwenang mengungkapkan keberadaan orang-orang ini dan mengungkapkan tuduhan terhadap mereka," kata Samah Hadid, Direktur Kampanye Timur Tengah Amnesty International.
Dari 10 aktivis yang saat ini telah ditahan, Amnesty International secara terbuka hanya bisa mengidentifikasi empat wanita, yaitu Eman al-Nafjan, Loujain al-Hathloul, Aziza al-Yousef, dan Aisha al-Manea. Sementara dua pria yang turut ditahan diketahui bernama Ibrahim Modeimigh dan Mohammed al-Rabea.
Manea adalah pembela hak asasi wanita yang sudah lama berkampanye untuk hak-hak perempuan agar bisa mengemudi sejak 1990-an. Sedangkan Nafjan dan Yousef pernah berpartisipasi dalam protes terhadap larangan mengemudi pada 2013.
Yousef juga pernah menggagas sebuah petisi pada 2016 mendukung diakhirinya sistem perwalian laki-laki, yang turut ditandatangani oleh Nafjan dan Hathloul. Hathloul sebelumnya telah ditahan dua kali atas aksi-aksinya.
Putra Mahkota Mohammad bin Salman telah mendesak sekutu Barat mendukung reformasinya. Investasi senilai ratusan miliar dolar AS telah didiskusikan selama perjalanannya ke AS dan Eropa baru-baru ini.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan mendukung agenda reformasi Saudi tetapi prihatin tentang penangkapan itu. "Kami mendukung adanya ruang bagi masyarakat sipil dan juga kebebasan berbicara. Tetapi secara keseluruhan, kami khawatir tentang hal itu dan kami terus mengawasinya," katanya kepada wartawan di Washington.
Reformasi di Arab Saudi telah dipuji sebagai bukti tren progresif baru di negara Muslim konservatif. Namun program ini justru disertai dengan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, termasuk puluhan penangkapan pada September lalu.
"Ini adalah tindakan untuk menahan segala jenis mobilisasi di Arab Saudi yang berasal dari tingkat akar rumput," kata Madawi al-Rasheed, profesor di London School of Economics.
"Mohammed bin Salman menginginkan semua pujian untuk segala macam kisah sukses; dia ingin memberi tahu dunia dan hadirin hak-hak perempuan Saudi dan setiap warga Saudi berasal dari dia," tambahnya.