REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan negaranya tidak akan mampu berperang melawan Cina. Pernyataannya ini berkaitan dengan laporan yang menyebut Beijing telah mendaratkan pembom di pulau-pulau reklamasi di Laut Cina Selatan.
"Saya tidak mampu saat ini untuk berperang. Saya tidak dapat pergi ke pertempuran yang tidak dapat saya menangkan dan hanya akan menghasilkan kehancuran bagi angkatan bersenjata kita," ujar Duterte dalam pidatonya di acara ulang tahun ke-120 Angkatan Laut Filipina di Manila seperti dilaporkan Anadolu, Selasa (22/5).
Duterte mengatakan, ketika dirinya menjadi presiden, telah terjadi perselisihan di Laut Filipina Barat. Pada 2012, Filipina secara resmi mengganti nama perairan di lepas pantai barat negara tersebut menjadi Laut Filipina Barat sebagai bagian dari upaya mendefinisikan wilayah kedaulatannya.
Ia menekankan keinginannya untuk melakukan pembelaan. Namun dia tidak ingin membuat gerakan apa pun yang akan menghancurkan Filipina. Dalam perkiraannya, ini akan menjadi kerugian besar bagi bangsa dan mungkin Filipina akan berakhir dengan kalah perang.
"Saya ingin kalian semua mengetahui hal ini. Apakah kalian menerima atau tidak, itulah kenyataannya di lapangan," ujar Duterte.
Kendati demikian, Duterte meminta Angkatan Laut Filipina untuk melanjutkan tugasnya dalam membela kedaulatan negara, khususnya Laut Filipina Barat. "Karena itu saya meminta Anda masing-masing melakukan bagian Anda, sehingga dalam 120 tahun mendatang, kita dapat membentuk kekuatan angkatan laut yang akan bertahan seumur hidup, dan mungkin kita tidak dapat mulai menyerang negara lain," katanya.
Keputusan pemerintahan Duterte yang terkesan "membiarkan" sengketa di Laut Cina Selatan menuai kritik serta kecaman dari sejumlah anggota parlemen, pakar, dan kritikus, termasuk Wakil Presiden Leni Robredo. Ia mendesak pemerintah segera mengajukan protes diplomatik terhadap Cina terkait aktivitas terbarunya di Laut Cina Selatan.
"Kami meminta Departemen Luar Negeri untuk mengajukan protes diplomatik di belakang perkembangan ini, sehingga kami dapat mengekspresikan oposisi kami terhadap tindakan Cina," ujar Robredo dalam sebuah pernyataan.
Cina mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya. Namun hal ini ditentang Brunei, Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan, termasuk Indonesia. Penentangan dan klaim yang saling tumpang tindih atas perairan tersebut dinilai berpotensi memicu konforntasi di wilayah tersebut.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag menyimpulkan bahwa klaim Beijing atas hampir seluruh wilayah di Laut Cina Selatan tidak memiliki dasar hukum. Kendati demikian Cina menolak keputusan tersebut.